Hai
teman-teman sekalian. Sehat, kan? Sehat, dong.
Aku mau berbagi kisah indah, nih. Sebelumnya, Aku mau bilang, kalau…., kalau
Aku kembali juara 1 FLS2N, loh. Kali ini Aku berhasil meraihnya di tingkat
Kodya. Terima kasih doanya, yo...! Oh iya, dengan begitu Aku dipastikan
mewakili Kodya Jakarta Timur untuk berlomba di jenjang Provinsi DKI Jakarta,
WOW!!! Aku tau, kalian pasti kepo kan sama cerpen yang mampu membawaku ke lomba
tingkat Provinsi, kan? Tenang aja, ada kok di bawah ini.
SELAMAT MEMBACA!
Kasih
Di Balik Ramuan Jamu Ibuku
Kokok
raja fajar merdu terdengar memanggil manusia untuk segera pergi meninggalkan
alam mimpinya. Di langit pagi, tampak semburat jingga yang membelah angkasa
menandakan sang surya telah menyingsing. Geliat kehidupan dunia mulai tampak.
Burung-burung berkicau riang menyampaikan salam pagi kepada teman-temannya.
Pepohonan bergoyang syahdu mengikuti intro-intro hembusan angina pagi di
sela-sela pucuk-pucuk dedaunan. Seorang gadis remaja beranjak dari tempat
tidurnya. Sejenak ia memicingkan matanya menghadap keluar jendela kamarnya.
Tampaklah panorama indah kebun-kebun the yang berjajar di sekitar pegunungan
dan sungai-sungai yang bergemerlapan bak permata karena pembiasan sang surya.
Setelah menikmati keindahan pagi, ia pun segera melakukan aktivitasnya seperti
biasa.
“Bersih,
segar, dan indah.” decak kagum Karin setelah menata rapi seluruh sudut
kamarnya. Ia tersenyum, lalu bergegas meninggalkan ruangan itu.
“Karin!
Apakah kamu sudah siap, Nak?” tanya Ibunya.
“Sudah,
Bu. Ini Karin mau berangkat,” jawab Karin. Mendengar jawaban Anaknya, Ibu Karin
mengajaknya untuk segera ke halaman rumahnya. Karin pun menurutinya. Ia mulai
mengayunkan tongkat penyangga tubuhnya. Di sisinya, berdiri sosok bidadari yang
siap sedia untuk menopang tubuh Karin tatkala tongkat itu tak mampu menopang
tubuh anak semata wayangnya itu.
Semilir
angin berhembus menyambut kedatangannya. Di hadapannya, terpakir sebuah mobil
hijau yang menantikan dirinya. Mobil yang selalu mengantarnya berangkat sekolah
maupun pulang sekolah.
“Karin
pamit, ya Bu. Mohon doanya agar kegiatan belajar Karin pada hari ini dapat
berjalan lancar, ya Bu!” pamitnya pada sosok bidadari itu seraya mencium
tangannya sebagai ungkapan bakti Karin kepada Ibunya.
“Iya,
Nak. Doa Ibu menyertaimu,” jawab Ibu Karin dengan senyum manis. Dengan
hati-hati Karin dituntun kedua orang tuanya untuk menaiki mobil hijau itu.
“Bapak
hati-hati juga, ya!” pesan Ibu pada Ayah Karin.
“Iya,
Bu. Doakan Bapak, agar hari ini banyak penumpang, Bu!” pinta Ayah Karin.
“Amin,
pasti Pak,” jawab Ibu Karin seraya mencium tangan Ayah Karin. Perlahan mobil
yang dikendarai Ayah Karin meninggalkan halaman rumah dan menuju tempat dimana
Karin menimba ilmu.
“Kring…,kring…,
kring!”
Bel
istirahat berbunyi, namun Karin tidak sedikit pun berkutik dari tempat
duduknya. Ia sedang membaca sebuah buku dengan serius, sedangkan murid lainnya
mulai berhamburan ke luar kelas untuk jajan di kantin sekolah.
“Hai,
Anak Cacat! Jamu Ibumu tidak laku, ya?” tanya seorang perempuan dari segerombol
siswi yang menghampirinya. Karin hanya diam.
“Kamu
itu cacat atau tuli? Kok, diam?” tanya yang lain.
“Sudah,
biarkan saja! Mungkin dugaanku tadi benar,” sahut perempuan yang tadi mengejek
Karin.
“Ada
apa ini? Karin, kamu tidak apa-apa?” tanya sahabat Karin yang tiba-tiba
menghampiri mereka.
“Sudahlah,
Aku tidak apa-apa, Ras,” jelas Karin.
“Kalian…,”
ucapan Laras terpotong saat Ia tidak melihat gerombolan Siska dan
teman-temannya. Tak lama kemudian, bel masuk berbunyi.
Duduklah!
Tidak ada yang perlu dikhawatirkan!” ujar Karin. Kegiatan belajar mengajar
dimulai kembali hinggga bel pulang berbunyi.
Perlahan
mentari menggelincir ke barat, tenggelam di balik gumpalan putih di
peraduannya. Cahaya sejenak meredup, namun rembulan dan bintang-bintang segera
beraksi memancarkan cahaya. Karin termenung memandangi panorama gelap jagad
raya yang seakan tersenyum padanya.
“Permisi,
selamat malam! Apakah Ibumu ada di rumah, Rin?” tanya Bu Mila yang membuatnya
terkejut.
“Malam,
Bu. Ibu ada di dalam, Bu. Saya panggilkan sebentar,” jawab Karin seraya
mengajak Bu Mila masuk. Karin menghampiri Ibunya di dapur dan memberitahu
perihal kedatangan tamu itu. dengan sigap, Ibu Karin menemui tamunya itu yang
merupak pelanggan jamunya.
“Bu,
tujuan Saya datang ke rumah ini karena saat ini anak Saya sedang demam tinggi.
Saya ingin meminta bantuan Ibu untuk meracik jamu pereda demam untuk anak
Saya,” jelas Bu Mila saat mengatakan tujuannya datang ke rumah Karin. Sejenak
Ibu Karin diam membisu, lidahnya kelu, namun di matanya terpancar sinar kasih
sayang yang mendalam. Hasrat sebagai seorang ibu, tidak dapat dipungkirinya.
Karin tahu isi hati Ibunya. Sebagai seorang penjuak jamu gendong, jamu yang
dijualnya sudah pasti jamu-jamu yang telah lama dikenal masyarakat, namun kini
Ibu Karin dihadapkan dengan tantangan meracik jamu baru.
“Hmm…,
baiklah Bu, akan Saya usahakan.” Jawab Ibu Karin. Senyum terkembang di bibir Bu
Mila. Dengan cekatan, Ibu Karin mempersiapkan bahan-bahan dan peralatan untuk
meracik jamu. Tidak sedikit pun Karin mengkerdipkan matanya. Ia melihat semua
gerak-gerik Ibunya, ayunan tangannya, dan langkah kakinya. Di dalam benaknya,
Ia sangat ingin membantu usaha jamu Ibunya, walaupun hanya membantu meracik
jamu, namun itu tinggalah angan-angan. Keadaan fisik Karin yang cacat permanen
sejak Ia kecil menghambat semua keinginannya.
“Aku
yakin! Suatu hari nanti, Aku pasti punya cara sendiri untuk menyukseskan usaha
jamu ini. Tuhan, dengarkanlah Aku!” janji Karin dalam hatinya.
Semua
proses telah selesai. Sebotol jamu telah siap untuk dikonsumi.
“Ini Bu,
jamunya. Semoga anak Ibu lekas sembuh!” ujar Ibu Karin seraya menyerahkan
sebotol jamu pereda demam.
“Amin!
Terima kasih, Bu” jawab Bu Mila seraya menyelipkan uang di kepalan tangan Ibu
Karin.
“Sama-
sama, bu” jawab Ibu Karin.
“Sebagai
ungkapan syukur dan terima kasih Saya, Saya harap Ibu mau berjualan di salah
satu toko milik Saya,” pinta Bu Mila.
“Tidak,
Bu. Saya ikhlas membantu Ibu. Saya juga sudah senang, bila anak Ibu kini telah
pulih,” jawab Ibu Karin.
“Saya
mohon, Bu. Ambilah!” ujar Bu Mila seraya memberikan kunci toko. Sekilas Ibu
Karin memandang anaknya.
“Terima
kasih banyak, Bu. Jikalau Ibu ikhlas memberi, Saya akan ikhlas menerimanya,”
jawab Ibu Karin seraya menerima anak kunci itu.
“Maaf,
Bu. Apa saya boleh usul?” tanya Karin. Bu Mila mengangguk.
“Apakah,
Saya boleh mempromosikan jamu racikan Ibu Saya di sekolah?” ujar Karin.
Awalnya, Karin tak berniat mengatakannya, namun inilah jalan pikirannya yang
mungkin suatu petunjuk dari Tuhan agar Karin menepati janjinya dulu. Mendengar
permintaan anaknya, Ibu Karin mendesah pelan.
“Ide
cemerlang, Rin!” seru Bu Mila. “Ibu menyetujuinya, Ibu akan membantu rencanamu
itu,” lanjut Bu Mila. Raut wajah Karin seakan berkata “Sungguh?”
“Terima
kasih banyak, Bu. Terima kasih,”ucapnya pada Bu Mila berulang- ulang kali. Bu
Mila mengangguk-angguk.
“Iya
sama- sama. Tunggu hari esok ya!” jawab Bu Mila. “Oh iya, hari sudah siang.
Saya pamit pulang, Bu,” ujar Bu Mila lagi.
“Iya sama-
sama. Terima kasih, Bu,” jawab Ibu Karin dengan wajah berseri-seri. Mereka
berdua menghantarkan Bu Mila sampai di depan gerbang rumah. Kemudian Karin
menyalami tangannya.
Hari
Senin. Ya hari pertama untuk menjalankan rencana Karin dan Bu Mila. Murid
VIII-4 telah bersedia di tempat duduknya masing- masing untuk belajar.
“Pagi,anak-
anak!” salam Bu Mila ketika masuk sekolah. Mereka pun serentak menjawab
salamnya.
“Baiklah,
anak- anak. Semua materi Tata Boga Semester 2 telah habis. Oleh karena itu,
untuk mengisi waktu menantikan Ujian Kenaikan Kelas, kita akan bersama-sama
melakukan suatu kegiatan di luar materi Tata Boga. Tiba- tiba kelas menjadi
ramai, ketika mendengar perkataan Bu Mila.
“Kegiatan
apa, Bu?” tanya Siska ingin tahu.
“Ya!
Kita akan bersama-sama menanam tanaman herbal untuk membuat jamu. Kita juga
akan belajar meracik jamu- jamu herbal. Kegiatan ini sekaligus untuk penilaian
Adipura tingkat Kota Madya Bogor,” jelas Bu Mila panjang lebar.
“Ide
siapa, Bu?” tanya Siska lagi. Bu Mila hanya mengacungkan jarinya pada Karin.
Mulai
hari ini, kegiatan itu berjalan. Banyak respon dari siswa, baik positif maupun
negatif. Karin mengusulkan hal itu karena janjinya dan karena Ia juga ingin
melestarikan obat tradisional Indonesia.
Terik
matahari terasa sangat panas. Teriknya memanggang seisi dunia. Panasnya terasa
sampai di ubun-ubun. Sesekali, Karin menyeka keringat yang bertengger di
dahinya.
“Kira-kira,
sebabnya apa, Bu?” tanya Karin setelah mendengar cerita Ibunya mengenai
penurunan pembeli di toko jamunya.
“Ibu
juga kurang tahu, Rin. Cerita yang Ibu dengar, katanya jamu racikan Ibu tidak
higienis,” ujar Ibu Karin.
“Mustahil,
Bu! Dulu, sewaktu Ibu masih jualan keliling tidak ada respon seperti itu,
sedangkan sekarang, kita sudah mempunyai toko, kabar burung itu beterbangan,”
ujarnya sedikit emosi.
“Sudahlah,
Rin. Jangan dipikirkan!” pinta Ibunya. Karin mengangguk.
“Tin…,tin…,
tin…!”
Tiba-tiba
suara klakson mobil yang sudah dikenali oleh Karin suaranya memecahkan keheningan
di dalam toko jamu itu. Dengan sigap, Karin dan Ibunya menyambut kedatangan
Sang Supir.
“Kalian
berdua di sini?” tanya Ayah Karin yang membuat mereka berdua heran.
“Iya,
Yah. Ini Karin dan ini Ibu. Ada apa, Yah?” tanya Karin penasaran.
Tanpa
menjawab sepatah dua kata pun, Ayah Karin mengenggam kedua tangan perempuan
itu, Karin di sebelah kanan dan Ibunya di sebelah kiri. Ayah Karin mengajak keduanya
untuk ikut dengannya dengan angkot hijau yang dikendarainya. Melajulah
kendaraan itu ke tempat tujuan Ayah Karin. Mereka pun sampai di halaman rumah
lalu bergegas menuju kebun di belakang rumah mereka. Mereka terkejut melihat
sosok misterius yang berada di kebun itu. Sosok itu mengenakan pakaian serba
hitam dengan penutup wajah yang senada warnanya. Mereka menjinjing
jerigen-jerigen yang berisi suatu cairan dan beberapa kantong plastik hitam
kosong. Melihat kedatangan Karin dan kedua orang tuanya, sosok misterius itu
terkejut, bagai disambar petir yang menggelegar. Mereka hendak melarikan diri,
namun sia-sia saja. Dari arah depan, tampak Keluarga Karin menghadang mereka,
sedangkan dari arah belakang, menjulang tinggi sebuah tembok yang membatasi
antara kebun mereka dengan rumah tetangga mereka.
“Siapa
kalian? Apa tujuan kalian?” Ayah Karin melontarkan bertubi-tubi pertanyaan yang
menyerang mereka. Tanpa Karin dan kedua orang tuanya ketahui, warga kampung
telah berkumpul juga di kebun itu. Mereka datang menghampiri karena mereka
ingin mengetahui apa yang terjadi.
Dengan pasrah,
akhirnya sosok misterius itu membuka sekat yang menutupi wajah mereka. Mereka pun
menjelaskan semuanya secara rinci.
Betapa terkejutnya
hati Karin ketika mendengar penjelasan kaki tangan Pak Dirman itu. “Ternyata,
Siska melaporkan perihal ideku pada Ayahnya,” batin Karin. Awalnya, Pak Dirman
tidak mengindahkannya, lama-lama Ia semakin memperdulikan itu seiring
berkurangnya pembeli di toko jamunya. Semua warga memang tahu, bahwa hanya
keluarga Karinlah satu-satunya penjual jamu di kampungnya. Mereka juga tahu,
bahwa Pak Dirman adalah juragan jamu di kampung sebelah.
“Maaf,
Mas. Kami tidak pernah berniat untuk bersaingan dengan Pak Dirman dalam usaha
jamu. Keluarga Saya memang sudah turun-temurun menjadi peracik jamu. Hal itu
terjadi karena niat keluarga Saya sejak dulu untuk melestarikan jamu dengan
cara menjajakannya kepada masyarakat,” jelas Karin setelah kaki tangan Pak
Dirman selesai berbicara.
“Sudah,
sudah! Kita bawa saja mereka ke pihak berwajib!” titah Pak Karta selaku ketua
RT yang juga berada di kerumunan warga kampung. Mendengar ucapan Pak Karta,
warga refleks memboyong kaki tangan itu ke kantor polisi terdekat.
“Kring…,
kring…!”
Bel upacara
berbunyi. Serentak siswa-siswi kelas 7 sampai 9 berbaris di lapangan upacara. Pada
hari ini, sambutan dibawakan oleh Bapak Kepala Sekolah, Pak Joko. Dalam sambutannya,
Ia mengucapkan banyak terima kasih kepada semua siswa yang telah membantu
sekolah untuk menjadi pemenang Adipura Juara 1 Tingkat Kota Madya Bogor.
“Karina
Octaviani, Saya persilahkan maju ke depan!” perintah Pak Joko. Mendengar namanya
dipanggil, Karin segera maju. Semua mata tertuju padanya.
Dengan panjang
lebar, Pak Joko menyampaikan rasa terima kasihnya pada Karin. Karena ide
cemerlang Karin, sekolahnya menjadi hijau dengan tanaman herbal. Oleh karena
itu, penilaian juri menyatakan sekolahnya menjadi juara Adipura. Karin hanya
diam, seketika tepuk tangan bergemuruh menembus dinding sekolah, menyelinap di
lorong-lorong kelas, Ia tidak dapat berkata apa-apa.
Di tengah
riuh gemuruh tepuk tangan, hadirlah dua orang tercinta di sisi Karin, namun Ia
tak menyadarinya.
“Karin,
lihatlah!” kata Pak Joko seraya mengarahkan tangannya kea rah kedua orang tua
Karin. Betapa gembira hatinya, melihat Ayah dan Ibunya mendampinginya. Hatinya
berlonjak riang melihat senyum bangga orang tuanya.
“Karin,
sebagai penghargaan atas jasa-jasamu, terimalah semua penghargaan ini!” seru
Pak Joko. Sekilas Karin memandangi yang dibawakan kedua orang tuanya
kehadapannya. Sebuah piala besar, piagam, dan uang tunai dari Pemerintah Kota
Bogor. Lengkaplah sudah kebahagiaannya di hari itu.
“Mengapa
Ayah dan Ibu ada di sini?” tanya Karin sopan, namun keduanya hanya diam.
“Apakah
salah jika Saya yang mengundangnya?” tanya Bu Mila yang tiba-tiba hadir. Karin
serasa tak percaya. “Banggakanlah mereka, kedua orang tuamu! Jangan pudarkan
senyum kebahagiaan mereka!” ujar Bu Mila. Karin mengangguk pasti. Kemudian, Bu
Mila izin untuk mengajar.
Tak
terasa air mata bahagia bercucuran deras di pelupuk mata Karin, Ayahnya, dan
Ibunya. Tangan mereka saling bertaut erat, lalu mereka berdekap hangat dengan
balutan kasih sayang.
“Kamu
hebat, Rin!” seru Ayah dan Ibunya serempak.
“Terima
kasih, Yah, Bu,” jawab Karin.
“Semua
berawal dari kasih. Kasih Bu Mila pada anaknya, kasih Ibuku pada Bu Mila,
hingga akhirnya kasih Tuhan pada keluargaku,” ujar Karin dalam hati.
SELESAI
Menurut kalian gimana? Pantas
gak dijadiin pemenang? Menurutku sih “belum”, karena Aku kan penulis pemula,
jadi mungkin lebih banyak peserta yang sudah menjadi penulis senior. Hehe, but is no problem! Tuhan punya rencana
sendiri, kan?
Oh iya, Aku mohon doanya
kembali ya! Semoga Aku bisa juara lagi di tingkat Provinsi, terus ke Semarang
jadi perwakilan DKI Jakarta di FLS2N Nasional. Amin.
Sampai jumpa!
(Jesica Dominiq Mozzarella)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar