• Kepribadian
  • Rabu, 28 Mei 2014

    Cerpen Budaya



    Hai teman-teman sekalian. Sehat, kan? Sehat, dong. Aku mau berbagi kisah indah, nih. Sebelumnya, Aku mau bilang, kalau…., kalau Aku kembali juara 1 FLS2N, loh. Kali ini Aku berhasil meraihnya di tingkat Kodya. Terima kasih doanya, yo...! Oh iya, dengan begitu Aku dipastikan mewakili Kodya Jakarta Timur untuk berlomba di jenjang Provinsi DKI Jakarta, WOW!!! Aku tau, kalian pasti kepo kan sama cerpen yang mampu membawaku ke lomba tingkat Provinsi, kan? Tenang aja, ada kok di bawah ini.

    SELAMAT MEMBACA!

    Kasih Di Balik Ramuan Jamu Ibuku
    Kokok raja fajar merdu terdengar memanggil manusia untuk segera pergi meninggalkan alam mimpinya. Di langit pagi, tampak semburat jingga yang membelah angkasa menandakan sang surya telah menyingsing. Geliat kehidupan dunia mulai tampak. Burung-burung berkicau riang menyampaikan salam pagi kepada teman-temannya. Pepohonan bergoyang syahdu mengikuti intro-intro hembusan angina pagi di sela-sela pucuk-pucuk dedaunan. Seorang gadis remaja beranjak dari tempat tidurnya. Sejenak ia memicingkan matanya menghadap keluar jendela kamarnya. Tampaklah panorama indah kebun-kebun the yang berjajar di sekitar pegunungan dan sungai-sungai yang bergemerlapan bak permata karena pembiasan sang surya. Setelah menikmati keindahan pagi, ia pun segera melakukan aktivitasnya seperti biasa.
    “Bersih, segar, dan indah.” decak kagum Karin setelah menata rapi seluruh sudut kamarnya. Ia tersenyum, lalu bergegas meninggalkan ruangan itu.

    “Karin! Apakah kamu sudah siap, Nak?” tanya Ibunya.
    “Sudah, Bu. Ini Karin mau berangkat,” jawab Karin. Mendengar jawaban Anaknya, Ibu Karin mengajaknya untuk segera ke halaman rumahnya. Karin pun menurutinya. Ia mulai mengayunkan tongkat penyangga tubuhnya. Di sisinya, berdiri sosok bidadari yang siap sedia untuk menopang tubuh Karin tatkala tongkat itu tak mampu menopang tubuh anak semata wayangnya itu.
    Semilir angin berhembus menyambut kedatangannya. Di hadapannya, terpakir sebuah mobil hijau yang menantikan dirinya. Mobil yang selalu mengantarnya berangkat sekolah maupun pulang sekolah.
    “Karin pamit, ya Bu. Mohon doanya agar kegiatan belajar Karin pada hari ini dapat berjalan lancar, ya Bu!” pamitnya pada sosok bidadari itu seraya mencium tangannya sebagai ungkapan bakti Karin kepada Ibunya.
    “Iya, Nak. Doa Ibu menyertaimu,” jawab Ibu Karin dengan senyum manis. Dengan hati-hati Karin dituntun kedua orang tuanya untuk menaiki mobil hijau itu.
    “Bapak hati-hati juga, ya!” pesan Ibu pada Ayah Karin.
    “Iya, Bu. Doakan Bapak, agar hari ini banyak penumpang, Bu!” pinta Ayah Karin.
    “Amin, pasti Pak,” jawab Ibu Karin seraya mencium tangan Ayah Karin. Perlahan mobil yang dikendarai Ayah Karin meninggalkan halaman rumah dan menuju tempat dimana Karin menimba ilmu.

    “Kring…,kring…, kring!”
    Bel istirahat berbunyi, namun Karin tidak sedikit pun berkutik dari tempat duduknya. Ia sedang membaca sebuah buku dengan serius, sedangkan murid lainnya mulai berhamburan ke luar kelas untuk jajan di kantin sekolah.
    “Hai, Anak Cacat! Jamu Ibumu tidak laku, ya?” tanya seorang perempuan dari segerombol siswi yang menghampirinya. Karin hanya diam.
    “Kamu itu cacat atau tuli? Kok, diam?” tanya yang lain.
    “Sudah, biarkan saja! Mungkin dugaanku tadi benar,” sahut perempuan yang tadi mengejek Karin.
    “Ada apa ini? Karin, kamu tidak apa-apa?” tanya sahabat Karin yang tiba-tiba menghampiri mereka.
    “Sudahlah, Aku tidak apa-apa, Ras,” jelas Karin.
    “Kalian…,” ucapan Laras terpotong saat Ia tidak melihat gerombolan Siska dan teman-temannya. Tak lama kemudian, bel masuk berbunyi.
    Duduklah! Tidak ada yang perlu dikhawatirkan!” ujar Karin. Kegiatan belajar mengajar dimulai kembali hinggga bel pulang berbunyi.

    Perlahan mentari menggelincir ke barat, tenggelam di balik gumpalan putih di peraduannya. Cahaya sejenak meredup, namun rembulan dan bintang-bintang segera beraksi memancarkan cahaya. Karin termenung memandangi panorama gelap jagad raya yang seakan tersenyum padanya.
    “Permisi, selamat malam! Apakah Ibumu ada di rumah, Rin?” tanya Bu Mila yang membuatnya terkejut.
    “Malam, Bu. Ibu ada di dalam, Bu. Saya panggilkan sebentar,” jawab Karin seraya mengajak Bu Mila masuk. Karin menghampiri Ibunya di dapur dan memberitahu perihal kedatangan tamu itu. dengan sigap, Ibu Karin menemui tamunya itu yang merupak pelanggan jamunya.
    “Bu, tujuan Saya datang ke rumah ini karena saat ini anak Saya sedang demam tinggi. Saya ingin meminta bantuan Ibu untuk meracik jamu pereda demam untuk anak Saya,” jelas Bu Mila saat mengatakan tujuannya datang ke rumah Karin. Sejenak Ibu Karin diam membisu, lidahnya kelu, namun di matanya terpancar sinar kasih sayang yang mendalam. Hasrat sebagai seorang ibu, tidak dapat dipungkirinya. Karin tahu isi hati Ibunya. Sebagai seorang penjuak jamu gendong, jamu yang dijualnya sudah pasti jamu-jamu yang telah lama dikenal masyarakat, namun kini Ibu Karin dihadapkan dengan tantangan meracik jamu baru.
    “Hmm…, baiklah Bu, akan Saya usahakan.” Jawab Ibu Karin. Senyum terkembang di bibir Bu Mila. Dengan cekatan, Ibu Karin mempersiapkan bahan-bahan dan peralatan untuk meracik jamu. Tidak sedikit pun Karin mengkerdipkan matanya. Ia melihat semua gerak-gerik Ibunya, ayunan tangannya, dan langkah kakinya. Di dalam benaknya, Ia sangat ingin membantu usaha jamu Ibunya, walaupun hanya membantu meracik jamu, namun itu tinggalah angan-angan. Keadaan fisik Karin yang cacat permanen sejak Ia kecil menghambat semua keinginannya.
    “Aku yakin! Suatu hari nanti, Aku pasti punya cara sendiri untuk menyukseskan usaha jamu ini. Tuhan, dengarkanlah Aku!” janji Karin dalam hatinya.
    Semua proses telah selesai. Sebotol jamu telah siap untuk dikonsumi.
    “Ini Bu, jamunya. Semoga anak Ibu lekas sembuh!” ujar Ibu Karin seraya menyerahkan sebotol jamu pereda demam.
    “Amin! Terima kasih, Bu” jawab Bu Mila seraya menyelipkan uang di kepalan tangan Ibu Karin.
    “Sama- sama, bu” jawab Ibu Karin.

    “Sebagai ungkapan syukur dan terima kasih Saya, Saya harap Ibu mau berjualan di salah satu toko milik Saya,” pinta Bu Mila.
    “Tidak, Bu. Saya ikhlas membantu Ibu. Saya juga sudah senang, bila anak Ibu kini telah pulih,” jawab Ibu Karin.
    “Saya mohon, Bu. Ambilah!” ujar Bu Mila seraya memberikan kunci toko. Sekilas Ibu Karin memandang anaknya.
    “Terima kasih banyak, Bu. Jikalau Ibu ikhlas memberi, Saya akan ikhlas menerimanya,” jawab Ibu Karin seraya menerima anak kunci itu.
    “Maaf, Bu. Apa saya boleh usul?” tanya Karin. Bu Mila mengangguk.
    “Apakah, Saya boleh mempromosikan jamu racikan Ibu Saya di sekolah?” ujar Karin. Awalnya, Karin tak berniat mengatakannya, namun inilah jalan pikirannya yang mungkin suatu petunjuk dari Tuhan agar Karin menepati janjinya dulu. Mendengar permintaan anaknya, Ibu Karin mendesah pelan.
    “Ide cemerlang, Rin!” seru Bu Mila. “Ibu menyetujuinya, Ibu akan membantu rencanamu itu,” lanjut Bu Mila. Raut wajah Karin seakan berkata “Sungguh?”
    “Terima kasih banyak, Bu. Terima kasih,”ucapnya pada Bu Mila berulang- ulang kali. Bu Mila mengangguk-angguk.
    “Iya sama- sama. Tunggu hari esok ya!” jawab Bu Mila. “Oh iya, hari sudah siang. Saya pamit pulang, Bu,” ujar Bu Mila lagi.
    “Iya sama- sama. Terima kasih, Bu,” jawab Ibu Karin dengan wajah berseri-seri. Mereka berdua menghantarkan Bu Mila sampai di depan gerbang rumah. Kemudian Karin menyalami tangannya.

    Hari Senin. Ya hari pertama untuk menjalankan rencana Karin dan Bu Mila. Murid VIII-4 telah bersedia di tempat duduknya masing- masing untuk belajar.
    “Pagi,anak- anak!” salam Bu Mila ketika masuk sekolah. Mereka pun serentak menjawab salamnya.
    “Baiklah, anak- anak. Semua materi Tata Boga Semester 2 telah habis. Oleh karena itu, untuk mengisi waktu menantikan Ujian Kenaikan Kelas, kita akan bersama-sama melakukan suatu kegiatan di luar materi Tata Boga. Tiba- tiba kelas menjadi ramai, ketika mendengar perkataan Bu Mila.
    “Kegiatan apa, Bu?” tanya Siska ingin tahu.
    “Ya! Kita akan bersama-sama menanam tanaman herbal untuk membuat jamu. Kita juga akan belajar meracik jamu- jamu herbal. Kegiatan ini sekaligus untuk penilaian Adipura tingkat Kota Madya Bogor,” jelas Bu Mila panjang lebar.
    “Ide siapa, Bu?” tanya Siska lagi. Bu Mila hanya mengacungkan jarinya pada Karin.
    Mulai hari ini, kegiatan itu berjalan. Banyak respon dari siswa, baik positif maupun negatif. Karin mengusulkan hal itu karena janjinya dan karena Ia juga ingin melestarikan obat tradisional Indonesia.

    Terik matahari terasa sangat panas. Teriknya memanggang seisi dunia. Panasnya terasa sampai di ubun-ubun. Sesekali, Karin menyeka keringat yang bertengger di dahinya.
    “Kira-kira, sebabnya apa, Bu?” tanya Karin setelah mendengar cerita Ibunya mengenai penurunan pembeli di toko jamunya.
    “Ibu juga kurang tahu, Rin. Cerita yang Ibu dengar, katanya jamu racikan Ibu tidak higienis,” ujar Ibu Karin.
    “Mustahil, Bu! Dulu, sewaktu Ibu masih jualan keliling tidak ada respon seperti itu, sedangkan sekarang, kita sudah mempunyai toko, kabar burung itu beterbangan,” ujarnya sedikit emosi.
    “Sudahlah, Rin. Jangan dipikirkan!” pinta Ibunya. Karin mengangguk.
    “Tin…,tin…, tin…!”
    Tiba-tiba suara klakson mobil yang sudah dikenali oleh Karin suaranya memecahkan keheningan di dalam toko jamu itu. Dengan sigap, Karin dan Ibunya menyambut kedatangan Sang Supir.
    “Kalian berdua di sini?” tanya Ayah Karin yang membuat mereka berdua heran.
    “Iya, Yah. Ini Karin dan ini Ibu. Ada apa, Yah?” tanya Karin penasaran.
    Tanpa menjawab sepatah dua kata pun, Ayah Karin mengenggam kedua tangan perempuan itu, Karin di sebelah kanan dan Ibunya di sebelah kiri. Ayah Karin mengajak keduanya untuk ikut dengannya dengan angkot hijau yang dikendarainya. Melajulah kendaraan itu ke tempat tujuan Ayah Karin. Mereka pun sampai di halaman rumah lalu bergegas menuju kebun di belakang rumah mereka. Mereka terkejut melihat sosok misterius yang berada di kebun itu. Sosok itu mengenakan pakaian serba hitam dengan penutup wajah yang senada warnanya. Mereka menjinjing jerigen-jerigen yang berisi suatu cairan dan beberapa kantong plastik hitam kosong. Melihat kedatangan Karin dan kedua orang tuanya, sosok misterius itu terkejut, bagai disambar petir yang menggelegar. Mereka hendak melarikan diri, namun sia-sia saja. Dari arah depan, tampak Keluarga Karin menghadang mereka, sedangkan dari arah belakang, menjulang tinggi sebuah tembok yang membatasi antara kebun mereka dengan rumah tetangga mereka.
    “Siapa kalian? Apa tujuan kalian?” Ayah Karin melontarkan bertubi-tubi pertanyaan yang menyerang mereka. Tanpa Karin dan kedua orang tuanya ketahui, warga kampung telah berkumpul juga di kebun itu. Mereka datang menghampiri karena mereka ingin mengetahui apa yang terjadi.
    Dengan pasrah, akhirnya sosok misterius itu membuka sekat yang menutupi wajah mereka. Mereka pun menjelaskan semuanya secara rinci.
    Betapa terkejutnya hati Karin ketika mendengar penjelasan kaki tangan Pak Dirman itu. “Ternyata, Siska melaporkan perihal ideku pada Ayahnya,” batin Karin. Awalnya, Pak Dirman tidak mengindahkannya, lama-lama Ia semakin memperdulikan itu seiring berkurangnya pembeli di toko jamunya. Semua warga memang tahu, bahwa hanya keluarga Karinlah satu-satunya penjual jamu di kampungnya. Mereka juga tahu, bahwa Pak Dirman adalah juragan jamu di kampung sebelah.
    “Maaf, Mas. Kami tidak pernah berniat untuk bersaingan dengan Pak Dirman dalam usaha jamu. Keluarga Saya memang sudah turun-temurun menjadi peracik jamu. Hal itu terjadi karena niat keluarga Saya sejak dulu untuk melestarikan jamu dengan cara menjajakannya kepada masyarakat,” jelas Karin setelah kaki tangan Pak Dirman selesai berbicara.
    “Sudah, sudah! Kita bawa saja mereka ke pihak berwajib!” titah Pak Karta selaku ketua RT yang juga berada di kerumunan warga kampung. Mendengar ucapan Pak Karta, warga refleks memboyong kaki tangan itu ke kantor polisi terdekat.

    “Kring…, kring…!”
    Bel upacara berbunyi. Serentak siswa-siswi kelas 7 sampai 9 berbaris di lapangan upacara. Pada hari ini, sambutan dibawakan oleh Bapak Kepala Sekolah, Pak Joko. Dalam sambutannya, Ia mengucapkan banyak terima kasih kepada semua siswa yang telah membantu sekolah untuk menjadi pemenang Adipura Juara 1 Tingkat Kota Madya Bogor.
    “Karina Octaviani, Saya persilahkan maju ke depan!” perintah Pak Joko. Mendengar namanya dipanggil, Karin segera maju. Semua mata tertuju padanya.
    Dengan panjang lebar, Pak Joko menyampaikan rasa terima kasihnya pada Karin. Karena ide cemerlang Karin, sekolahnya menjadi hijau dengan tanaman herbal. Oleh karena itu, penilaian juri menyatakan sekolahnya menjadi juara Adipura. Karin hanya diam, seketika tepuk tangan bergemuruh menembus dinding sekolah, menyelinap di lorong-lorong kelas, Ia tidak dapat berkata apa-apa.
    Di tengah riuh gemuruh tepuk tangan, hadirlah dua orang tercinta di sisi Karin, namun Ia tak menyadarinya.
    “Karin, lihatlah!” kata Pak Joko seraya mengarahkan tangannya kea rah kedua orang tua Karin. Betapa gembira hatinya, melihat Ayah dan Ibunya mendampinginya. Hatinya berlonjak riang melihat senyum bangga orang tuanya.
    “Karin, sebagai penghargaan atas jasa-jasamu, terimalah semua penghargaan ini!” seru Pak Joko. Sekilas Karin memandangi yang dibawakan kedua orang tuanya kehadapannya. Sebuah piala besar, piagam, dan uang tunai dari Pemerintah Kota Bogor. Lengkaplah sudah kebahagiaannya di hari itu.

    “Mengapa Ayah dan Ibu ada di sini?” tanya Karin sopan, namun keduanya hanya diam.
    “Apakah salah jika Saya yang mengundangnya?” tanya Bu Mila yang tiba-tiba hadir. Karin serasa tak percaya. “Banggakanlah mereka, kedua orang tuamu! Jangan pudarkan senyum kebahagiaan mereka!” ujar Bu Mila. Karin mengangguk pasti. Kemudian, Bu Mila izin untuk mengajar.
    Tak terasa air mata bahagia bercucuran deras di pelupuk mata Karin, Ayahnya, dan Ibunya. Tangan mereka saling bertaut erat, lalu mereka berdekap hangat dengan balutan kasih sayang.
    “Kamu hebat, Rin!” seru Ayah dan Ibunya serempak.
    “Terima kasih, Yah, Bu,” jawab Karin.
    “Semua berawal dari kasih. Kasih Bu Mila pada anaknya, kasih Ibuku pada Bu Mila, hingga akhirnya kasih Tuhan pada keluargaku,” ujar Karin dalam hati.
    SELESAI
     

    Menurut kalian gimana? Pantas gak dijadiin pemenang? Menurutku sih “belum”, karena Aku kan penulis pemula, jadi mungkin lebih banyak peserta yang sudah menjadi penulis senior. Hehe, but is no problem! Tuhan punya rencana sendiri, kan?
    Oh iya, Aku mohon doanya kembali ya! Semoga Aku bisa juara lagi di tingkat Provinsi, terus ke Semarang jadi perwakilan DKI Jakarta di FLS2N Nasional. Amin.
    Sampai jumpa!
    (Jesica Dominiq Mozzarella)

    Tidak ada komentar:

    Posting Komentar