Hai
teman-teman! Apa kabarnya nih??? Semoga kalian selalu sehat, ya. Aku kembali
datang untuk kembali menghibur kalian melalui cerpenku. Oh iya! Happy birthday, Indonesia! Yoi,
sekarang, kan 17 Agustus 2014. Kalian gak lupa, kan? Pastinya nggak. Apa aja
yang kalian lakuin buat merayakannya? Pasti ada. Ya memang harus ada, karena
sebagai pemuda bangsa kita harus turut berpartisipasi dalam mengisi
kemerdekaan, contohnya memenangkan perlombaan, mengikuti upacara bendera, dan
banyak lagi. Ngomong-ngomong tentang partisipasi mengisi kemerdekaan, aku punya
cerpen yang bisa membangun semangat kalian. Kepo kan? Kalau iya, langsung aja
baca deh!
SELAMAT
MEMBACA!
Kami,
Sahabat Bangsa Indonesia
17
Agustus 2014. Siapa yang tidak menunggu kehadiran hari itu. Gema kemerdekaan
berkumandang di seluruh penjuru negeri kita, Indonesia. Semua rakyat menyambut
kedatangannya, tak terkecuali warga kampung tempatku tinggal. Berbagai
kegiatan, mulai dari pemasangan bendera untuk memeriahkan peringatan tujuh
belasan, kerja bakti membersihkan kampung, hingga mempersiapkan acara tujuh
belasan kami lakukan sebagai bentuk antusiasme kami terhadap tanggal penuh
sejarah itu. Seluruh warga turut bahu-membahu, baik anak kecil maupun remaja,
baik yang muda maupun yang dewasa, tak tertinggal seorang pun.
Oh
iya, sebelum ceritaku berlanjut, alangkah baiknya kita berkenalan terlebih
dahulu. Perkenalkan, namaku Gita. Aku duduk di bangku kelas 3 SMP, tepatnya di
SMP Satu Tujuan. Aku tinggal di bawah langit, di atas bumi. Bercanda. Maksudku,
aku tinggal di Kampung Cihati. Aku merupakan salah satu remaja putri yang cukup
aktif di lingkungan tempat tinggalku. Salah satu bentuk keaktifanku adalah dalam
kegiatan peringatan HUT kemerdekaan tahun ini.
Aku
berperan aktif dalam kegiatan peringatan kemerdekaan tahun ini, karena tak lain
tak bukan, aku adalah salah satu anggota dari Karang Taruna Cihati. Ya, memang
bukan panitia, tapi sebagai remaja bangsa yang baik, aku harus membantu sesama
hidup. Berbuat baik tidak ada salahnya, kan?
Persiapan
demi persiapan telah terlaksana dan tanggal 17 Agustus 2014 pun tiba. Berbagai
acara pun sudah siap dilangsungkan, mulai dari sambutan Ketua RT Cihati,
pelaksanaan berbagai lomba, hingga acara puncak, yaitu syukuran atas
kemerdekaan yang Tuhan berikan kepada bangsa dan tanah air kita selama 69
tahun.
Bagiku,
acara yang menarik adalah pelaksanaan lomba tujuh belasan. Mengapa menarik?
Karena menurutku, dengan mengikuti lomba dan berusaha menjadi pemenang dari
lomba itu, sama layaknya dengan kita menjiwai pahlawan demi menggapai
kemerdekaan.
“Selamat
datang di ‘Lomba Tujuh Belas Agustus Cihati’!!!” seru pembawa acara lomba yang
merupakan anggota Karang Taruna Cihati pula. “Lomba ini dapat diikuti oleh
semua kalangan, kecuali anggota karang taruna yang menjadi panitia, ya!”
sambungnya lagi.
“Yeay!!!”
teriakku dengan gembira, namun hanya sejenak karena dengan seketika
berpasang-pasang mata melirik ke arahku. Aku hanya bisa tersenyum menahan tawa.
Ya, aku bahagia sekali, karena aku bukan anggota karang taruna. Jadi, bisa ikut
lomba.
“Balap
karung! Balap karung! Daftar di sini!” teriak panitia yang lainnya.
Mendengar
seruan panitia itu, aku segera menuju ke meja pendaftaran itu. ya, aku mau ikut
lomba balap karung. Tak lama, aku pun sampai di meja pendaftaran dan sesi
pendaftaran pun selesai, tinggal menunggu waktu untuk namaku dipanggil.
“Okay, perlombaan selanjutnya dilombakan
oleh peserta berikutnya, yaitu Gita, Arif, Ayu, dan Rangga,” teriak panitia
memanggil peserta lomba yang diikuti kedatangan peserta lomba yang dipanggil,
termasuk aku. “Yap, bersedia, siap,
mulai!” teriaknya lagi, memandu perlombaan.
Aku
yang sudah siap, baik fisik maupun mental, langsung bersemangat berlari
menggunakan karung goni. Susah memang, tetapi harus bisa. “Pahlawan saja bisa,
mengapa aku tidak?” semangatku dalam hati.
“Gubrak”
Aku
terjatuh. Mungkin karena aku terlalu bersemangat, sehingga aku tidak melihat
kalau ada genangan air di lintasanku. Terpeleset pun tak dapat dihindari.
“Hahahahahahaha,”
gelak tawa mengiringi usahaku untuk bangkit dari tanah. Sedang saat itu, mataku
menangkap bahwa Arif sudah kembali ke garis start,
pertanda dialah pemenangnya. Aku pun segera bangun untuk menyelesaikan perlombaan,
walaupun tidak ada peluang bagiku untuk menjadi pemenang.
“Selamat,
Rif,” ujarku memberi selamat kepada Arif.
“Makasih,
Git. Ngomong-ngomong, kok kamu bisa
kalah?” tanyanya sambil menahan tawa.
“Jangan
pura-pura gak tahu, Rif,” jawabku malu-malu.
Di
tengah pembicaraanku dengan Arif, kedua teman-teman seperjuangan lomba tadi
menghampiriku.
“Hai!”
seru Ayu dan Rangga.
“Yoi,
sini-sini!” panggilku.
“Berduaan
aja,” goda Ayu. “Gak nyoba lomba yang lain?” tanyanya.
“Lah,
kalian dari tadi dicariin gak tau kemana,” jawabku singkat.
“Oalah,
kita habis ikut lomba ini, nih,”
balas Rangga seraya memegang belut tepat di depan wajahku.
“Aaaaaa!!!
Jangan mendekat! Buang itu!” teriakku tiba-tiba dengan tidak jelas.
“Kamu
takut dengan belut?” tanya Ayu dengan bingung. Aku hanya mengangguk pelan.
“Aha!
Rasakan ini, Gita!” kata Rangga seraya bersiap mengejarku.
Melihat
sikap Rangga yang “mencurigakan”, aku segera berlari kencang menjauhinya. Di
dalam anganku, aku menganggap bahwa Rangga adalah penjajah yang ingin mengganggu
kemerdekaanku, dan aku harus berjuang untuk berlari menjauh darinya.
“Gubrak”
Bagai
masuk ke lubang yang sama. Aku kembali terjatuh, namun bukan karena sedang
mengikuti lomba, melainkan karena ketakutan dengan belut yang berada di
genggaman Rangga.
“Hahaha,
jatuh lagi, Git?” tanya seseorang yang suaranya tak asing lagi di telingaku dan
segera aku menoleh kepadanya.
“Tertawa
kamu, Rif?” tanyaku dengan wajah memelas.
“Hahaha,
mukamu itu…, kotor banget, Git,” jelas Arif. “Git, celanamu sobek?” sambungnya
lagi dengan muka merah.
“Hehehe,
iya,” jawabku sambil menahan malu. “Jangan ketawa aja, bantuin aku, dong!” lanjutku memohon bantuan Arif.
Tanpa aku ketahui, Arif mengeluarkan sapu tangannya dan mengelap wajahku yang
penuh dengan tanah becek.
“Kalau
lagi dibersihin, yang tenang, dong!
Kalau mukamu kotor, cantikmu hilang, Git,” ujar Arif seraya membersihkan
wajahku.
Jantungku
berdegup cepat, keringat dingin mengucur sepanjang tubuh, dan aku tidak dapat
melepaskan tatapan mataku hanya untuk sekedar berpaling darinya.
“Gak!
Arif itu sahabatku, kita hanya sebatas sehabat, tidak lebih. Dia perhatian sama
aku, karena aku sahabatnya,” ujarku dalam hati.
“Sudah
bersih, Git,” kata Arif membuyarkan lamunanku. “Kakimu sakit?” sambungnya. Aku
mengangguk, mengiyakan.
Aku
kembali tak menyadari bahwa ia telah menyediakan dan menawarkan punggungnya
untuk menggendongku.
“Naiklah!
Atau kau mau berjalan sendirian dengan tertatih-tatih? Jujur, kalau aku,
melihatmu saja kasihan. Apa kamu sendiri tidak kasihan pada dirimu sendiri?”
ujar Arif yang kusambut dengan menaiki punggungnya.
Di
atas punggung Arif, aku hanya bisa terdiam, terdiam, dan terdiam. Di dalam
diam, aku tidak menyadari bahwa mataku sudah beranak. Alirannya terasa damai,
melepas seluruh beban hatiku.
“Kamu
nangis?” tanya Arif tiba-tiba yang secara diam-diam memperhatikanku. Aku hanya
menggeleng, karena jika aku berbicara pasti suaraku berbeda. “Aku sahabatmu,
Git. Apakah kamu mau menutup-nutupinya dari aku?” tanyanya lagi. Mendengar itu,
aku bagai tertusuk ombak, sakit.
“Hai,
kalian berdua lagi?” teriak dua orang yang tampak sedang menghampiri aku dan
Arif dari kejauhan.
“Kalian?”
tanyaku yang membuat Rangga dan Ayu terkesiap, seakan bertanya “mengapa?”
“Iya
iya, kami tahu kalau kami salah. Maafkan kami, ya!” mohon Rangga.
“Hah?
Kami? Kamu aja kali, Rang,” sahut Ayu sinis.
“Aku
sudah memaafkannya sebelum kalian minta maaf,” jelasku yang disambut senyuman
oleh Rangga.
“Terus,
mengapa kamu menangis?” tanya Arif lagi.
“Huh,
aku hanya membayangkan. Bagaimana kalau pahlawan-pahlawan kita tidak bisa
melepaskan tanah air kita dari cengkeraman para penjajah. Apakah kita akan
hidup sebebas dan sebahagia ini, berkumpul dengan keluarga dan sahabat-sahabat
kita?” ujarku menjelaskan penyebab kesedihanku yang diangguki oleh sahabat-sahabatku.
“Iya
juga. Kalau Indonesia belum merdeka, mungkinkah kita bisa bertemu? Bermain
bersama?” sambung Arif.
“Mulai
hari ini, aku berjanji. Aku akan menjaga kemerdekaan ini, dengan cara rajin
belajar, mengikuti semangat juang pahlawan, dan yang pasti tidak akan pernah
mengkhianati negar ini, layaknya para koruptor yang tidak tahu diuntung,” tutur
Rangga dengan tegas.
“Iya,
aku juga!” seru kami berbarengan menyetujui Rangga.
“Janji
gak akal ngerjain sahabat-sahabatmu lagi, kan?” goda Ayu yang diikuti tawa kami
berempat.
Ya
itulah kami. Sahabat yang akan selalu bersama di mana pun, kapan pun, dan
sampai kapan pun, baik senang dan suka, maupun di saat sakit dan duka. Kami
adalah segelintir anak bangsa yang berjanji, berbakti, dan mengabdi pada tanah
air, bangsa, dan negara kita tercinta, Indonesia. Dan kalian merupakan anak
bangsa pula. Tapi, apakah kalian berniat untuk memiliki janji seperti kami?
Kami harap kalian menjawab “iya”.
SELESAI
Gimana?
Seru kan? Nah, kalian juga bisa kok seperti mereka, asal kalian punya niat yang
tulus demi kemajuan Indonesia. Oh iya, pada HUT Indonesia ke-69 ini Aku mau
berdoa sama Tuhan : semoga dengan umur Indonesia yang semakin dewasa, Indonesia
semakin memiliki pemuda-pemudi bangsa yang dewasa pula dalam hal berpikir agar
para generasi penerus bangsa tersebut mampu mengharumkan Bangsa Indonesia
hingga ke kancah internasional, mampu membawa perubahan yang lebih baik, dan
juga mampu mencintai Indonesia dengan sepenuh hati mereka. Amin.
(Jesica
Dominiq Mozzarella)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar