Yuhu! Aku kembali datang, nih! Kalian udah siap baca
cerpenku yang ini belum? Cerpen pengalaman pribadi, lho! Hmmm, tapi kalian dalam keadaan sehat semua, kan? Aku
harap kalian menjawab “iya”.
Sebenarnya, cerpen ini aku tulis demi sebuah angka.
Yup, nilai! Akan tetapi, aku menulis cerpen ini bukan hanya semata untuk hal
itu, karena di sisi lain aku berkesempatan untuk menambah hasil karya cerpenku,
juga untuk menambah daftar sastra yang kalian baca. Selain itu aku juga bisa
berbagi pengalaman pribadiku sama kalian, kan? Sepertinya udah gak sabar baca
cerpennya, ya? Langsung aja, deh!
SELAMAT MEMBACA!
Anugerah Tuhan yang Tiada Tara
Semua
manusia di dunia ini pasti memiliki bakat dan talentanya tersendiri. Bakat dan
talenta itu dapat menjadi berbagai peluang di dalam kehidupan setiap manusia.
Jika manusia itu sendiri mengembangkannya, maka peluang baik akan
menghampirinya, akan tetapi bila manusia menenggelamkannya, peluang baik pun
akan jauh dari kehidupan manusia itu sendiri.
Itulah
yang dapat kurasakan saat ini. Seumur hidupku, aku tidak pernah mengenali
bakatku. Jangankan mengenali bakat, menentukan cita-citaku saja, aku mengikuti
ramalan horoskop. Memang aneh, tetapi itulah aku.
Tuhan
memang adil, Ia tidak akan membiarkan umat-Nya tersesat. Itu pula yang
dilakukan-Nya padaku. Aku memang tidak pernah tahu bakat apa yang terpendam di
dalam jiwaku, namun Tuhan tidak tinggal diam. Dia mengirimkanku seorang
pengantara untuk menggali harta karun yang tak ternilai harganya itu.
Tepat
pada tanggal 1 Juni 2014, aku terbang ke kota Semarang. Ini merupakan salah
satu hal yang sangat membahagiakan di dalam hidupku. Setelah melalui berbagai lika-liku
dan perjalanan panjang, akhirnya aku bisa menjajakan kakiku di kota itu.
“Jes,
ada lomba menulis cerpen, nih,” kata
Bu Sumar kepadaku saat aku bertemu dengannya di ruang guru. “Kamu ikut, ya!
Kamu pasti bisa,” sambung Bu Sumar lagi.
“Hmm…,
saya, Bu? Saya coba dulu, ya Bu. Karena, Saya tidak pernah menulis cerpen
sebelumnya,” jawabku berusaha membuat Bu Sumar yakin kepadaku.
“Sip,
Jes. Lagi pula, cerpenmu juga akan Ibu seleksi lagi dengan cerpen siswa lain
yang mau ikut lomba. Jadi, cerpen yang paling baik akan maju untuk lomba,”
jelas Bu Sumar panjang lebar. “Oh iya, tetapi Ibu berharap kalau kamu yang
maju,” sambung Bu Sumar memberikan aku semangat.
Waktu
terus bergulir, siang berganti malam, jam berganti hari. Waktu penyeleksian
tingkat kecamatan semakin dekat menghampiri. Bayangan penilaian Bu Sumar
terhadap cerpenku tidak dapat aku tebak, antara bagus atau tidak, antara
terpilih untuk mewakili sekolah atau hanya sebagai bahan untuk pembanding
dengan cerpen siswa lainnya yang berminat mengikuti lomba yang sama dengan aku.
Ya, mau bagaimana lagi, persyaratan lomba yang mengharuskan tiap sekolah hanya
mengirimkan satu perwakilan, memaksa Bu Sumar untuk melakukan penilaian
tersebut.
“Jes,
cerpenmu menarik. Kamu tinggal mengolahnya sedikit dan terus berlatih, ya,”
ujar Bu Sumar di tengah-tengah jam pelajaran Bahasa Indonesia.
“Maksud
Ibu?” tanyaku heran.
“Kamu
akan mewakili sekolah dalam lomba menulis cerpen itu. Menurut Ibu, cerpenmu
berbeda dengan cerpen lainnya. Cerpenmu jauh lebih hidup,” jelas Bu Sumar yang
membuatku terperangah dan menyiratkan tatapan tak percaya.
Sejak
hari itu, aku terus berlatih untuk menulis cerpen. Tidak ada hari, tanpa
latihan. Karena hari-hariku terus mendekati waktu penyisihan tingkat kecamatan.
Setelah beberapa hari menunggu, waktu menegangkan itu pun tiba.
Di
babak penyisihan tingkat kecamatan, aku masih tampak gugup. Maklumlah, aku kan
penulis cerpen pemula. Judul yang kuberikan pada cerpen pertamaku adalah “Buah
Keteguhan Hati”. Cerpen ini mengangkat perihal bagaimana perjuangan seorang
gadis belia dalam rangka mendidik anak-anak yang memiliki kelas ekonomi
menengah ke bawah. Perjuangannya terasa sangat berat, terutama karena kedua
orang tuanya tidak pernah merestuinya untuk melakukan pengorbanan itu. Walaupun
demikian, ia tetap berusaha untuk menjalankan niat baik itu dan perlahan-lahan
hati kedua orang tuanya luluh untuk merestui perbuatan putrinya itu.
Untuk
cerpen yang pertama itu, menurutku aku belum menulis dengan maksimal. Mengapa?
Karena, hingga batas waktu penulisan selesai, cerpenku belum rampung semua,
hingga akhirnya aku mencoba untuk memotong beberapa bagian ceritaku. Dengan
keadaan itu, hati dan pikiranku sudah dapat memastikan bahwa aku tidak akan
pernah maju ke tingkat Kota Madya Jakarta Timur.
“Bu,
mungkin aku kalah,” kataku lesu kepada Bu Sumar.
“Jangan
sedih, Jes. Yang terpenting, kamu sudah berusaha. Menang ataupun kalah,
jadikanlah semuanya sebagai pengalaman!” hibur Bu Sumar.
Setelah
lama menunggu, waktu paling menegangkan dalam setiap perlombaan pun tiba.
Apalagi kalau bukan pengumuman pemenang lomba. Dari kejauhan, aku hanya bisa
tersenyum memandangi teman-teman seperjuanganku yang naik ke panggung atas
keberhasilan mereka melalui babak penyisihan ini. Sedangkan aku, masih menunggu
pembacaan pemenang lomba menulis cerpen yang tidak kunjung dibacakan.
“Juara
pertama FLS2N Menulis Cerpen Berbahasa Indonesia 2014 jatuh kepada : Jesica
Dominiq Mozzarella dari SMPN 179 Jakarta!” teriak panitia yang membacakan
pemenang lomba.
Mendengar
hal itu, hatiku serasa tidak percaya. “Mungkinkah aku bermimpi, telingaku
rusak, ya?” tanyaku dalam hati. Namun, pertanyaan-pertanyaan aneh itu langsung
terjawab setelah teman-temanku memintaku untuk naik ke atas panggung. Aku
memang tidak menerima apapun secara materiil dalam penyisihan ini, namun dari
atas panggung ini aku dapat merasakan bagaimana cara Tuhan hadir di dalam
kehidupanku. Dan satu kata terakhir “Terima kasih Tuhan, babak penyisihan
pertama telah usai,” syukurku dalam hati.
Dua
minggu bukanlah waktu yang lama. Di dalam kurun waktu yang singkat itu, aku
kembali mempersiapkan diri untuk mengikuti jenjang lomba selanjutnya,
yakni tingkat Kota Madya Jakarta Timur.
Di bawah bimbingan Bu Sumarhaeni aku terus berlatih, terutama berlatih
menggunakan batas waktu dalam penulisan cerpen. Hingga tiba saatnya, jenjang
lomba yang kedua pun dimulai.
Berbeda
dari jenjang sebelumnya, jenjang kali ini diikuti oleh peserta yang jumlahnya
lebih banyak dari sebelumnya. Bagaimana tidak? Setiap kecamatan mengirimkan
tiga orang perwakilan, tak terkecuali Kecamatan Pasar Rebo. Kalau dijumlah,
peserta yang ikut kurang lebih ada dua puluh siswa. Akan tetapi, keadaan itu
tidak membuat mentalku menciut, karena aku sudah berpengalaman dari lomba
sebelumnya dan karena aku sudah jauh lebih siap dari yang sebelumnya.
Untuk
jenjang ini, aku mengangkat sebuah kisah kehidupan tentang seorang anak tukang
jamu yang memiliki kekurangan. Walaupun ia memiliki kekurangan, semangatnya
tidak pernah mati untuk membantu kedua orang tuanya dalam usaha menyukseskan penjualan
jamu orang tuanya. Tidak jauh berbeda dengan cerpen sebelumnya, cerpen ini pun
terbumbu dengan lika-liku hidup yang naik dan turun. Oh iya, di atas cerpen
ini, kuletakkan kalimat “Kasih Di Balik Ramuan Jamu Ibuku”. Dan untuk yang
kedua kalinya, aku kembali menyabet juara pertama dan siap untuk melangkah ke
jenjang penyisihan tingkat Provinsi DKI Jakarta dengan membawa sebuah piala
bertuliskan “Juara 1 FLS2N Menulis Cerpen Berbahasa Indonesia 2014”.
Bagiku,
waktu dua minggu sangat cepat, lalu bagaimana dengan tempo waktu satu minggu.
Ya, satu minggu, waktu untukku berlatih dan mempersiapkan diri menjelang
penyisihan akhir sebelum berlaga di kancah nasional.
“Jes,
kamu harus banyak bersyukur! Kamu lihat? Awalnya kamu bilang bahwa kamu tidak
pernah menulis cerpen, ternyata kamu bisa, kan?” tutur Bu Sumar di sela-sela
waktu latihan.
“Iya,
Bu. Mungkin dulu aku hanyalah onggokan daging yang tidak tahu kemana tujuanku,
akan tetapi di saat ini aku sudah berubah menjadi manusia yang paling
beruntung, yang dapat meraih tujuan dengan jelas,” jawabku haru.
“Iya,
Say. Setidaknya, jika kamu tidak bisa melanjutkan perjuanganmu hingga ke
Semarang, kamu harus tetap bersyukur karena sudah punya pengalaman berlomba di
tingkat provinsi. Jarang lho, manusia
yang bisa mengalaminya,” sahut Bu Sumar yang aku iyakan dengan sebuah anggukan.
Tak terasa, tubuh kami tampak sudah saling berdekapan, kemudian meneteskan air
mata haru dan bahagia. “Tuhan tanpamu apalah aku?” kataku dalam hati.
Penyeleksian
tingkat Provinsi DKI Jakarta pun tiba. Kali ini, seleksi dilakukan di luar
sekolah. Jauh berbeda dengan jenjang sebelumnya, yang diadakan di SMPN 179
Jakarta untuk penyeleksian tingkat kecamatan dan SMPN 103 Jakarta untuk
penyeleksian tingkat kota madya, sedangkan untuk seleksi provinsi diadakan di
Anjungan Lampung, Taman Mini Indonesia Indah (TMII). Sejauh aku tahu, jumlah
peserta untuk seleksi ketiga ini terdiri atas tiga perwakilan dari setiap kota
madya. Jadi, kalau dikira-kira terdapat kurang lebih sebanyak lima belas peserta
yang mengikuti lomba yang sama denganku. Jumlah pesertanya memang jauh lebih
sedikit, akan tetapi aku yakin mereka semua adalah siswa-siswi terbaik yang
ahli dan berpengalaman dalam hal menciptakan cerpen, karena mereka mampu
menjadi perwakilan dari setiap kota madya masing-masing. Terbukti, kini mereka
duduk di sekitarku dengan tujuan yang sama denganku : memperebutkan juara
pertama agar bisa terbang ke Semarang.
Dalam
seleksi kali ini, mungkin aku merasa agak janggal. Kalau di seleksi-seleksi
sebelumnya, setiap peserta duduk tersendiri, sedangkan seleksi kali ini, setiap
peserta duduk berpasangan dan digabung pula dengan peserta lomba menulis puisi.
“Kamu
pasti bisa, Jes! Tinggal selangkah menuju pentas nasional,” semangat dalam
hatiku membara.
Kali
ini adalah kali ketiganya aku membuat cerpen. Berbeda dari kedua cerpen
sebelumnya, menurutku ini adalah cerpen terbaik yang pernah aku tulis atau
memang setiap orang beranggapan “cerpen baru lebih baik dari cerpen
sebelumnya”?, entahlah. Cerpen ketiga ini mengangkat cerita seorang gadis yang
sangat mencintai negerinya, yakni Indonesia. Berbagai hal di dalam hidupnya,
tidak sedikitpun hasratnya untuk melewatinya di luar tanah kelahirannya
tersebut, kecuali memang keadaan tertentu yang memaksanya, seperti halnya
ketika dia harus mengikuti pertukaran pelajar ke Negeri Kangguru. Dikisahkan
pula, bahwa gadis ini menderita leukemia akut. Untuk menggugah perasaan para
pembaca, aku mencantumkan judul “Hidupku, Hanya Untukmu Tanah Airku”.
Seusai
tanganku beraksi di atas kertas putih, yang telah dipenuhi tulisan kini. Aku
segera menemui Bu Sumar yang telah menungguku di depan pintu ruang lomba.
Kasihan, ya? Namun, tidak aku lihat sedikitpun raut lelah di wajahnya.
“Sudah
selesai, Jes?” tanya Bu Sumar ketika aku tepat berada di sisinya. Sebelum
menjawab pertanyaan yang dilontarkan Bu Sumar, aku menyalami tangannya terlebih
dahulu.
“Sudah,
Bu,” jawabku singkat sambil berusaha meregangkan otot tangannya yang terasa
sangat pegal. Bagaimana tidak pegal? Coba kalian bayangkan, kalian harus
menulis dalam tempo tiga jam, sebanyak enam lembar portofolio bolak-balik!
Kebayang, kan?
Setelah
mendengar jawabanku, tampak terlihat sekilas olehku bahwa Bu Sumar melemparkan
senyum bangga padaku.
“Tapi,
pengumumannya bukan hari ini, Jes, melainkan besok,” ujar Bu Sumar tiba-tiba.
“Ibu harap, kamu juara satu, karena yang maju adalah semua juara pertama dari
setiap mata lomba. Nah, semua juara pertama akan menjadi duta dari kontingen
provinsinya masing-masing,” sambung Bu Sumar.
Mendengar
itu, aku baru ingat bahwa lomba di tingkat ini memang diadakan selama dua hari.
Jadi, wajar saja apabila diumumkan di hari terakhir, di saat semua mata lomba
telah usai dilombakan. Dan inilah satu perbedaan lagi dari lomba-lomba di
jenjang sebelumnya. Selain itu, jauh di dalam lubuk hatiku, aku pun memiliki
harapan yang sama dengan apa yang diharapkan oleh Bu Sumar.
Tak
perlu menunggu waktu yang lama bagiku untuk menantikan jawaban atas lomba itu.
Selang satu hari, tidak lama, bukan? Di hari kedua ini, kami kembali
dikumpulkan di ruangan tempat kami berlomba untuk mendengarkan pembacaan “para
raja dan ratu” dari mata lomba FLS2N kelima itu. Akhirnya, dengan total nilai
sebanyak 1.256 poin, aku dipastikan melangkah ke jenjang tertinggi, yakni
tingkat Nasional Republik Indonesia, karena akulah ratu lomba menulis cerpen
FLS2N tingkat Provinsi 2014.
Lain
di ruangan, lain pula di aula. Kalau di ruangan hanya sekedar pemberitahuan,
namun bila di aula, setiap pemenang diharuskan untuk naik ke panggung. Begitu
pula denganku, mendengar namaku disebutkan di antara hembusan angin, menembus
gendang telinga setiap insan yang mendengarnya, membawaku melangkah dengan
bangga ke atas panggung untuk dinobatkan menjadi “Duta Penulis Cerpen Kontingen
FLS2N Provinsi DKI Jakarta 2014” dengan sebuah piala besar di genggamanku.
Segelintir
pengalamanku itu, kini membawaku melangkah ke dalam sebuah ruangan baru di
hidupku. Seumur hidup, aku tidak pernah menginjakan kakiku di bumi Semarang.
Aku sangat bersyukur atas anugerah yang Tuhan berikan kepadaku. Bisa kalian
bayangkan kembali! Menggunakan seragam kontingen, segala biaya hidup selama
satu minggu di Semarang ditanggung oleh negara, bisa berkenalan dengan
penulis-penulis terkenal di Indonesia, hingga liburan di Semarang, kurang bahagia
apa?
Nah,
di Semaranglah lomba dengan label nasional diselenggarakan, tepatnya tanggal 4
Juni 2014. Setelah melewati waktu sekitar tiga hari lamanya, terhitung dari
tanggal 1 sampai 3 Juni 2014, dengan berbagai acara seperti perkenalan antar
peserta yang berasal dari seluruh provinsi di Indonesia, perkenalan dengan
juri-juri tingkat Nasional yang merupakan penulis-penulis ternama, hingga workshop yang dibimbing oleh Kak Ratih
Kumala, selaku penulis skrip di salah satu stasiun tv swasta ternama di Indonesia.
4
Juni 2014. Siapa yang tak menyangka bahwa tanggal itu akan datang sangat cepat
bagai kilat yang menyambar bumi, bagai anak panah yang meluncur dari busurnya,
dan bagai putaran roda kereta api yang berputar di atas rel, ya sangat cepat.
Di hari itu, aku sudah bersiap mengikuti perlombaan terakhir. Secara fisik
maupun mental, aku sudah siap pula menerima kenyataan apapun yang akan terjadi.
Tepat
di sebuah ballroom lantai dua, di
Hotel Quest Semarang, akan menjadi
saksi bisu terhadap penyelenggaran lomba di jenjang nasional itu. Mungkin,
perlombaan di jenjang ini jauh berbeda dari jenjang sebelumnya. Dari segi
peserta, tentu jumlahnya jauh lebih banyak dari yang sebelumnya, lebih kurang
tiga puluh empat orang yang merupakan perwakilan dari provinsinya masing-masing.
Dari segi tempat lomba, terasa hawa dingin penyejuk ruangan alias air conditioner terasa menusuk hingga ke
sumsum tulang, dan hal itu pula yang memaksa semua peserta menggunakan jaket
untuk menghambat hawa dingin masuk ke dalam tubuh. Selain itu, keadaan yang
tidak biasa itu justru membuatku semakin gugup dan tidak konsentrasi karena aku
tidak terbiasa dengan ruangan lombanya. Dan sekali lagi, aku yakin bahwa aku
tidak dapat mempertahankan gelar juara satu yang tengah kusandangkan saat itu.
“Mengapa
kamu hanya diam, Jes?” tanya Bu Sumar yang menghampiri kamar hotelku seusai
lomba.
“Aku
rasa aku kalah, Bu,” jawabku seperti orang yang baru saja kehilangan, tetapi
aku sendiri tidak tahu hal apa yang akan hilang.
“Sudahlah,
ini hanyalah sebuah perlombaan. Pasti ada yang kalah, tidak semuanya menang,”
ujar Bu Sumar memotivasiku. Aku hanya membalas dengan senyuman hambar.
Tak
lama setelah senyumku habis dimakan waktu, pikiranku melayang jauh memikirkan
berbagai hal yang berkaitan dengan perasaanku yang tak menentu saat itu. di
hari keberangkatan, entah apa yang terjadi saat aku mengecek headsetku, aku tidak menemukannya, dan
sudah pasti jawabannya adalah tertinggal di Bandara Halim Perdana Kusuma.
Selain itu, sebuah kejadian kembali terbayang di benakku, ya kejadian pertama
saat aku dan Bu Sumar mengambil sebuah foto saat kami berpijak di tanah
Semarang, tepatnya di Bandara Ahmad Yani Semarang. Ya, saat ingin mengambil
sebuah foto, tanpa sebab yang jelas Bu Sumarhaeni jatuh tersungkur. Hal itu
memang tampak menggelikan, namun bagiku itu adalah sebuah pertanda.
“Jes!”
panggil temanku yang merupakan kontingen dari Bali, berusaha menyadarkanku dari
lamunanku. Aku yang terkejut, hanya terperangah heran akan sikapnya padaku.
Setelah itu, kulemparkan senyum walau kurang dari sedetik kepadanya.
6
Juni 2014, waktu yang sangat ditunggu-tunggu oleh semua peserta, ya pengumuman
pemenang. Dengan bertempat di Marina
Convention Center (MCC), semua peserta dikumpulkan di ruangan yang memacu
degup jantung dan perasaan yang tak karuan. Dengan pasrah, aku memandangi
satu-persatu peserta yang maju dengan membawa gelar juara, mulai juara ketiga
hingga juara pertama. Satu hal yang pasti, hingga pembacaan juara pertama
menulis cerpen, namaku tak kunjung disebutkan, dan itulah pertanda bahwa aku
telah gugur mengharumkan Provinsi DKI Jakarta di tanah kepemimpinan Pak Ganjar
Pranowo, selaku Gubernur Jawa Tengah. Satu hal lagi yang kalian perlu tahu,
pemenang FLS2N 2014 dalam bidang menulis cerpen diraih oleh Provinsi Jawa Timur
di posisi ketiga, Provinsi Kepulauan Riau di peringkat dua, dan Provinsi
Kalimantan Selatan sebagai juara pertama yang akan mengikuti festival seni di
India. Selain itu, ditetapkan pula bahwa juara umum FLS2N jatuh ke tangan
Provinsi di bawah kepemimpinan Pak Ahmad Heryawan, yakni Provinsi Jawa Barat.
Selain itu, Jakarta pun harus bersyukur karena berhasil menyabet juara pertama
untuk mata lomba membuat film pendek.
Semua
terasa berlalu dengan cepat, kini aku telah kembali di hotel. Entah apa yang
aku rasakan, sesampainya di hotel riak air mata terus mengalir deras dari dua
sungai di wajahku. Pikiranku terus melayang jauh mengingat kejadian-kejadian
yang menjadi tanda kekalahanku, mulai dari kejadian di Bandara Halim Perdana
Kusuma hingga di Bandara Ahmad Yani. Oh iya, selain itu ada dua peristiwa lagi
yang memfirasatkan kekalahanku. Yang pertama, saat aku sedang menjalani lomba
dan tanpa sebab, air minum yang disediakan di mejaku tumpah tanpa sebab. Hal
yang kedua, saat ingin menuju MCC, bis sebagai akomodasi peserta tidak kunjung
datang, hingga akhirnya rombongan dari hotelku semuanya datamg telat.
“Sudahlah,
Jes! Aku jadi ingin nangis juga,” kata temanku yang berasal dari Bali. Ya aku
pun tahu, bahwa ia mengalami kepahitan yang sama denganku, gagal di langkah
terakhir. Aku hanya mampu menatapnya dengan mata yang berkaca-kaca karena tidak
lama kemudian Bu Sumar menghampiriku.
“Jes,
apa kamu marah sama Tuhan?” tanya Bu Sumar setibanya ia di sisiku. Aku hanya
menggeleng. “Bagus kalau begitu, tandanya kau masih bersyukur. Bersyukurlah,
Say selagi kau mampu. Jangan hanya di saat suka kau bersyukur, lakukanlah pula
di saat duka menemani kehidupanmu,” lanjut Bu Sumar yang berusaha sekuat
mungkin menahan hujan dari matanya. Ia tampak ingin terlihat tegar di depanku.
Dan sekali lagi, aku merasakan dekapan penuh kasih dari Bu Sumar yang
mendekapku dengan sangat erat.
Keesokan
hari pun tiba, hari terakhir bagiku dan seluruh kontingen di luar kontingen
Jawa Tengah untuk berada di Semarang. Setelah melalui waktu seminggu di
Semarang, kini tiba saatnya kami kembali ke tanah kontingen kami masing-masing.
Begitu pula denganku beserta rombongan kontingen Provinsi DKI Jakarta. Memang
berat bagiku untuk meninggalkan Semarang dengan kisah yang pahit, namun mau
dikata apa nasi telah menjadi bubur dan keputusan dewan juri pun tidak dapat
diganggu gugat.
Dari
semua kejadian ini, aku dapat mengambil banyak pelajaran berharga di dalam
hidupku. Yang pertama, mungkin tanpa perlombaan ini aku tidak dapat menemukan
talentaku yang sebenarnya dan melalui prestasi yang ku toreh sepanjang
perjalanan itu menjadi pembuktian bahwa menulis adalah bakat yang harus aku
kembangkan secara terus menerus. Yang kedua, tanpa kerja tangan Tuhan yang
terbentuk melalui Bu Sumar, mungkin sampai saat ini aku belum pernah
menginjakan kakiku di Semarang, dan yang terakhir melalui semua peristiwa yang
ku rangkum ini, aku dapat membuktikan bahwa di atas langit masih ada langit,
walaupun secara berturut-turut aku meraih kemenangan, bukan berarti aku harus
selalu menang, kan? Oh iya, selain itu pengalaman ini dapat aku jadikan guru
dalam kehidupanku dan aku berharap apa yang aku raih selama itu, dapat
dirasakan oleh orang-orang lain yang ada di dunia ini.
“Aku
akan selalu merindukan kalian. Semua teman seperjuangan, semua pengalaman, dan
semua sejarah panjang hingga aku berada di sini. Selamat tinggal dan sampai
jumpa Semarang!” seruku dalam hati yang diiringi take off-nya pesawat yang kutumpangi untuk menghantarkan
kepulanganku ke Jakarta.
Ya,
begitulah hidup. Kadang naik, kadang turun. Hidupku telah memberikan banyak
pelajaran bahwa dunia sesungguhnya indah dan berwarna-warni, setiap insan
berhak mengembangkan talentanya untuk menciptakan pribadi yang unik.
TAMAT
Hmm, menurut kalian ceritanya happy ending or sad ending? Atau juga dua-duanya? Sudahlah, apapun
dan bagaimana pun akhirnya aku harap kalian bisa mengambil pesan dari cerpen
tersebut. Aku harap kalian bisa mengalami hal yang sama seperti Aku, ya. Sampai
jumpa di cerpen selanjutnya…!
(Jesica Dominiq Mozzarella)
keren kk :')
BalasHapustapi tiwi tadi agak bosen pas baca yg paragraf pertama, kesannya agak menggurui gitu ..
Salam dari Bali kk :D
Aaa.., makasih
HapusTiwi punya blog juga, follow blog ku yaa.
Makasih atas kunjungannya dan makasih juga buat kritikannya.
Salam dari Jakarta untuk Bali yo..😘😍
Jesica! Aku udah join blog kamu, kamu join blog aku juga ya!
BalasHapusdarakhrns.blogspot.com
Okay, makasih...
Hapusmaaf baru di balas komennya ya.