• Kepribadian
  • Senin, 17 November 2014

    Cerpen Pengalaman Pribadi



    Yuhu! Aku kembali datang, nih! Kalian udah siap baca cerpenku yang ini belum? Cerpen pengalaman pribadi, lho! Hmmm, tapi kalian dalam keadaan sehat semua, kan? Aku harap kalian menjawab “iya”.
    Sebenarnya, cerpen ini aku tulis demi sebuah angka. Yup, nilai! Akan tetapi, aku menulis cerpen ini bukan hanya semata untuk hal itu, karena di sisi lain aku berkesempatan untuk menambah hasil karya cerpenku, juga untuk menambah daftar sastra yang kalian baca. Selain itu aku juga bisa berbagi pengalaman pribadiku sama kalian, kan? Sepertinya udah gak sabar baca cerpennya, ya? Langsung aja, deh!

    SELAMAT MEMBACA!



    Anugerah Tuhan yang Tiada Tara

    Semua manusia di dunia ini pasti memiliki bakat dan talentanya tersendiri. Bakat dan talenta itu dapat menjadi berbagai peluang di dalam kehidupan setiap manusia. Jika manusia itu sendiri mengembangkannya, maka peluang baik akan menghampirinya, akan tetapi bila manusia menenggelamkannya, peluang baik pun akan jauh dari kehidupan manusia itu sendiri.

    Itulah yang dapat kurasakan saat ini. Seumur hidupku, aku tidak pernah mengenali bakatku. Jangankan mengenali bakat, menentukan cita-citaku saja, aku mengikuti ramalan horoskop. Memang aneh, tetapi itulah aku.

    Tuhan memang adil, Ia tidak akan membiarkan umat-Nya tersesat. Itu pula yang dilakukan-Nya padaku. Aku memang tidak pernah tahu bakat apa yang terpendam di dalam jiwaku, namun Tuhan tidak tinggal diam. Dia mengirimkanku seorang pengantara untuk menggali harta karun yang tak ternilai harganya itu.

    Tepat pada tanggal 1 Juni 2014, aku terbang ke kota Semarang. Ini merupakan salah satu hal yang sangat membahagiakan di dalam hidupku. Setelah melalui berbagai lika-liku dan perjalanan panjang, akhirnya aku bisa menjajakan kakiku di kota itu.

    “Jes, ada lomba menulis cerpen, nih,” kata Bu Sumar kepadaku saat aku bertemu dengannya di ruang guru. “Kamu ikut, ya! Kamu pasti bisa,” sambung Bu Sumar lagi.

    “Hmm…, saya, Bu? Saya coba dulu, ya Bu. Karena, Saya tidak pernah menulis cerpen sebelumnya,” jawabku berusaha membuat Bu Sumar yakin kepadaku.

    “Sip, Jes. Lagi pula, cerpenmu juga akan Ibu seleksi lagi dengan cerpen siswa lain yang mau ikut lomba. Jadi, cerpen yang paling baik akan maju untuk lomba,” jelas Bu Sumar panjang lebar. “Oh iya, tetapi Ibu berharap kalau kamu yang maju,” sambung Bu Sumar memberikan aku semangat.



    Waktu terus bergulir, siang berganti malam, jam berganti hari. Waktu penyeleksian tingkat kecamatan semakin dekat menghampiri. Bayangan penilaian Bu Sumar terhadap cerpenku tidak dapat aku tebak, antara bagus atau tidak, antara terpilih untuk mewakili sekolah atau hanya sebagai bahan untuk pembanding dengan cerpen siswa lainnya yang berminat mengikuti lomba yang sama dengan aku. Ya, mau bagaimana lagi, persyaratan lomba yang mengharuskan tiap sekolah hanya mengirimkan satu perwakilan, memaksa Bu Sumar untuk melakukan penilaian tersebut.

    “Jes, cerpenmu menarik. Kamu tinggal mengolahnya sedikit dan terus berlatih, ya,” ujar Bu Sumar di tengah-tengah jam pelajaran Bahasa Indonesia.

    “Maksud Ibu?” tanyaku heran.

    “Kamu akan mewakili sekolah dalam lomba menulis cerpen itu. Menurut Ibu, cerpenmu berbeda dengan cerpen lainnya. Cerpenmu jauh lebih hidup,” jelas Bu Sumar yang membuatku terperangah dan menyiratkan tatapan tak percaya.



    Sejak hari itu, aku terus berlatih untuk menulis cerpen. Tidak ada hari, tanpa latihan. Karena hari-hariku terus mendekati waktu penyisihan tingkat kecamatan. Setelah beberapa hari menunggu, waktu menegangkan itu pun tiba.

    Di babak penyisihan tingkat kecamatan, aku masih tampak gugup. Maklumlah, aku kan penulis cerpen pemula. Judul yang kuberikan pada cerpen pertamaku adalah “Buah Keteguhan Hati”. Cerpen ini mengangkat perihal bagaimana perjuangan seorang gadis belia dalam rangka mendidik anak-anak yang memiliki kelas ekonomi menengah ke bawah. Perjuangannya terasa sangat berat, terutama karena kedua orang tuanya tidak pernah merestuinya untuk melakukan pengorbanan itu. Walaupun demikian, ia tetap berusaha untuk menjalankan niat baik itu dan perlahan-lahan hati kedua orang tuanya luluh untuk merestui perbuatan putrinya itu.

    Untuk cerpen yang pertama itu, menurutku aku belum menulis dengan maksimal. Mengapa? Karena, hingga batas waktu penulisan selesai, cerpenku belum rampung semua, hingga akhirnya aku mencoba untuk memotong beberapa bagian ceritaku. Dengan keadaan itu, hati dan pikiranku sudah dapat memastikan bahwa aku tidak akan pernah maju ke tingkat Kota Madya Jakarta Timur.

    “Bu, mungkin aku kalah,” kataku lesu kepada Bu Sumar.

    “Jangan sedih, Jes. Yang terpenting, kamu sudah berusaha. Menang ataupun kalah, jadikanlah semuanya sebagai pengalaman!” hibur Bu Sumar.

    Setelah lama menunggu, waktu paling menegangkan dalam setiap perlombaan pun tiba. Apalagi kalau bukan pengumuman pemenang lomba. Dari kejauhan, aku hanya bisa tersenyum memandangi teman-teman seperjuanganku yang naik ke panggung atas keberhasilan mereka melalui babak penyisihan ini. Sedangkan aku, masih menunggu pembacaan pemenang lomba menulis cerpen yang tidak kunjung dibacakan.

    “Juara pertama FLS2N Menulis Cerpen Berbahasa Indonesia 2014 jatuh kepada : Jesica Dominiq Mozzarella dari SMPN 179 Jakarta!” teriak panitia yang membacakan pemenang lomba.

    Mendengar hal itu, hatiku serasa tidak percaya. “Mungkinkah aku bermimpi, telingaku rusak, ya?” tanyaku dalam hati. Namun, pertanyaan-pertanyaan aneh itu langsung terjawab setelah teman-temanku memintaku untuk naik ke atas panggung. Aku memang tidak menerima apapun secara materiil dalam penyisihan ini, namun dari atas panggung ini aku dapat merasakan bagaimana cara Tuhan hadir di dalam kehidupanku. Dan satu kata terakhir “Terima kasih Tuhan, babak penyisihan pertama telah usai,” syukurku dalam hati.



    Dua minggu bukanlah waktu yang lama. Di dalam kurun waktu yang singkat itu, aku kembali mempersiapkan diri untuk mengikuti jenjang lomba selanjutnya, yakni  tingkat Kota Madya Jakarta Timur. Di bawah bimbingan Bu Sumarhaeni aku terus berlatih, terutama berlatih menggunakan batas waktu dalam penulisan cerpen. Hingga tiba saatnya, jenjang lomba yang kedua pun dimulai.

    Berbeda dari jenjang sebelumnya, jenjang kali ini diikuti oleh peserta yang jumlahnya lebih banyak dari sebelumnya. Bagaimana tidak? Setiap kecamatan mengirimkan tiga orang perwakilan, tak terkecuali Kecamatan Pasar Rebo. Kalau dijumlah, peserta yang ikut kurang lebih ada dua puluh siswa. Akan tetapi, keadaan itu tidak membuat mentalku menciut, karena aku sudah berpengalaman dari lomba sebelumnya dan karena aku sudah jauh lebih siap dari yang sebelumnya.

    Untuk jenjang ini, aku mengangkat sebuah kisah kehidupan tentang seorang anak tukang jamu yang memiliki kekurangan. Walaupun ia memiliki kekurangan, semangatnya tidak pernah mati untuk membantu kedua orang tuanya dalam usaha menyukseskan penjualan jamu orang tuanya. Tidak jauh berbeda dengan cerpen sebelumnya, cerpen ini pun terbumbu dengan lika-liku hidup yang naik dan turun. Oh iya, di atas cerpen ini, kuletakkan kalimat “Kasih Di Balik Ramuan Jamu Ibuku”. Dan untuk yang kedua kalinya, aku kembali menyabet juara pertama dan siap untuk melangkah ke jenjang penyisihan tingkat Provinsi DKI Jakarta dengan membawa sebuah piala bertuliskan “Juara 1 FLS2N Menulis Cerpen Berbahasa Indonesia 2014”.



    Bagiku, waktu dua minggu sangat cepat, lalu bagaimana dengan tempo waktu satu minggu. Ya, satu minggu, waktu untukku berlatih dan mempersiapkan diri menjelang penyisihan akhir sebelum berlaga di kancah nasional.

    “Jes, kamu harus banyak bersyukur! Kamu lihat? Awalnya kamu bilang bahwa kamu tidak pernah menulis cerpen, ternyata kamu bisa, kan?” tutur Bu Sumar di sela-sela waktu latihan.

    “Iya, Bu. Mungkin dulu aku hanyalah onggokan daging yang tidak tahu kemana tujuanku, akan tetapi di saat ini aku sudah berubah menjadi manusia yang paling beruntung, yang dapat meraih tujuan dengan jelas,” jawabku haru.

    “Iya, Say. Setidaknya, jika kamu tidak bisa melanjutkan perjuanganmu hingga ke Semarang, kamu harus tetap bersyukur karena sudah punya pengalaman berlomba di tingkat provinsi. Jarang lho, manusia yang bisa mengalaminya,” sahut Bu Sumar yang aku iyakan dengan sebuah anggukan. Tak terasa, tubuh kami tampak sudah saling berdekapan, kemudian meneteskan air mata haru dan bahagia. “Tuhan tanpamu apalah aku?” kataku dalam hati.



    Penyeleksian tingkat Provinsi DKI Jakarta pun tiba. Kali ini, seleksi dilakukan di luar sekolah. Jauh berbeda dengan jenjang sebelumnya, yang diadakan di SMPN 179 Jakarta untuk penyeleksian tingkat kecamatan dan SMPN 103 Jakarta untuk penyeleksian tingkat kota madya, sedangkan untuk seleksi provinsi diadakan di Anjungan Lampung, Taman Mini Indonesia Indah (TMII). Sejauh aku tahu, jumlah peserta untuk seleksi ketiga ini terdiri atas tiga perwakilan dari setiap kota madya. Jadi, kalau dikira-kira terdapat kurang lebih sebanyak lima belas peserta yang mengikuti lomba yang sama denganku. Jumlah pesertanya memang jauh lebih sedikit, akan tetapi aku yakin mereka semua adalah siswa-siswi terbaik yang ahli dan berpengalaman dalam hal menciptakan cerpen, karena mereka mampu menjadi perwakilan dari setiap kota madya masing-masing. Terbukti, kini mereka duduk di sekitarku dengan tujuan yang sama denganku : memperebutkan juara pertama agar bisa terbang ke Semarang.

    Dalam seleksi kali ini, mungkin aku merasa agak janggal. Kalau di seleksi-seleksi sebelumnya, setiap peserta duduk tersendiri, sedangkan seleksi kali ini, setiap peserta duduk berpasangan dan digabung pula dengan peserta lomba menulis puisi.

    “Kamu pasti bisa, Jes! Tinggal selangkah menuju pentas nasional,” semangat dalam hatiku membara.

    Kali ini adalah kali ketiganya aku membuat cerpen. Berbeda dari kedua cerpen sebelumnya, menurutku ini adalah cerpen terbaik yang pernah aku tulis atau memang setiap orang beranggapan “cerpen baru lebih baik dari cerpen sebelumnya”?, entahlah. Cerpen ketiga ini mengangkat cerita seorang gadis yang sangat mencintai negerinya, yakni Indonesia. Berbagai hal di dalam hidupnya, tidak sedikitpun hasratnya untuk melewatinya di luar tanah kelahirannya tersebut, kecuali memang keadaan tertentu yang memaksanya, seperti halnya ketika dia harus mengikuti pertukaran pelajar ke Negeri Kangguru. Dikisahkan pula, bahwa gadis ini menderita leukemia akut. Untuk menggugah perasaan para pembaca, aku mencantumkan judul “Hidupku, Hanya Untukmu Tanah Airku”.

    Seusai tanganku beraksi di atas kertas putih, yang telah dipenuhi tulisan kini. Aku segera menemui Bu Sumar yang telah menungguku di depan pintu ruang lomba. Kasihan, ya? Namun, tidak aku lihat sedikitpun raut lelah di wajahnya.

    “Sudah selesai, Jes?” tanya Bu Sumar ketika aku tepat berada di sisinya. Sebelum menjawab pertanyaan yang dilontarkan Bu Sumar, aku menyalami tangannya terlebih dahulu.

    “Sudah, Bu,” jawabku singkat sambil berusaha meregangkan otot tangannya yang terasa sangat pegal. Bagaimana tidak pegal? Coba kalian bayangkan, kalian harus menulis dalam tempo tiga jam, sebanyak enam lembar portofolio bolak-balik! Kebayang, kan?

    Setelah mendengar jawabanku, tampak terlihat sekilas olehku bahwa Bu Sumar melemparkan senyum bangga padaku.

    “Tapi, pengumumannya bukan hari ini, Jes, melainkan besok,” ujar Bu Sumar tiba-tiba. “Ibu harap, kamu juara satu, karena yang maju adalah semua juara pertama dari setiap mata lomba. Nah, semua juara pertama akan menjadi duta dari kontingen provinsinya masing-masing,” sambung Bu Sumar.

    Mendengar itu, aku baru ingat bahwa lomba di tingkat ini memang diadakan selama dua hari. Jadi, wajar saja apabila diumumkan di hari terakhir, di saat semua mata lomba telah usai dilombakan. Dan inilah satu perbedaan lagi dari lomba-lomba di jenjang sebelumnya. Selain itu, jauh di dalam lubuk hatiku, aku pun memiliki harapan yang sama dengan apa yang diharapkan oleh Bu Sumar.

    Tak perlu menunggu waktu yang lama bagiku untuk menantikan jawaban atas lomba itu. Selang satu hari, tidak lama, bukan? Di hari kedua ini, kami kembali dikumpulkan di ruangan tempat kami berlomba untuk mendengarkan pembacaan “para raja dan ratu” dari mata lomba FLS2N kelima itu. Akhirnya, dengan total nilai sebanyak 1.256 poin, aku dipastikan melangkah ke jenjang tertinggi, yakni tingkat Nasional Republik Indonesia, karena akulah ratu lomba menulis cerpen FLS2N tingkat Provinsi 2014.

    Lain di ruangan, lain pula di aula. Kalau di ruangan hanya sekedar pemberitahuan, namun bila di aula, setiap pemenang diharuskan untuk naik ke panggung. Begitu pula denganku, mendengar namaku disebutkan di antara hembusan angin, menembus gendang telinga setiap insan yang mendengarnya, membawaku melangkah dengan bangga ke atas panggung untuk dinobatkan menjadi “Duta Penulis Cerpen Kontingen FLS2N Provinsi DKI Jakarta 2014” dengan sebuah piala besar di genggamanku.



    Segelintir pengalamanku itu, kini membawaku melangkah ke dalam sebuah ruangan baru di hidupku. Seumur hidup, aku tidak pernah menginjakan kakiku di bumi Semarang. Aku sangat bersyukur atas anugerah yang Tuhan berikan kepadaku. Bisa kalian bayangkan kembali! Menggunakan seragam kontingen, segala biaya hidup selama satu minggu di Semarang ditanggung oleh negara, bisa berkenalan dengan penulis-penulis terkenal di Indonesia, hingga liburan di Semarang, kurang bahagia apa?

    Nah, di Semaranglah lomba dengan label nasional diselenggarakan, tepatnya tanggal 4 Juni 2014. Setelah melewati waktu sekitar tiga hari lamanya, terhitung dari tanggal 1 sampai 3 Juni 2014, dengan berbagai acara seperti perkenalan antar peserta yang berasal dari seluruh provinsi di Indonesia, perkenalan dengan juri-juri tingkat Nasional yang merupakan penulis-penulis ternama, hingga workshop yang dibimbing oleh Kak Ratih Kumala, selaku penulis skrip di salah satu stasiun tv swasta ternama di Indonesia.

    4 Juni 2014. Siapa yang tak menyangka bahwa tanggal itu akan datang sangat cepat bagai kilat yang menyambar bumi, bagai anak panah yang meluncur dari busurnya, dan bagai putaran roda kereta api yang berputar di atas rel, ya sangat cepat. Di hari itu, aku sudah bersiap mengikuti perlombaan terakhir. Secara fisik maupun mental, aku sudah siap pula menerima kenyataan apapun yang akan terjadi.

    Tepat di sebuah ballroom lantai dua, di Hotel Quest Semarang, akan menjadi saksi bisu terhadap penyelenggaran lomba di jenjang nasional itu. Mungkin, perlombaan di jenjang ini jauh berbeda dari jenjang sebelumnya. Dari segi peserta, tentu jumlahnya jauh lebih banyak dari yang sebelumnya, lebih kurang tiga puluh empat orang yang merupakan perwakilan dari provinsinya masing-masing. Dari segi tempat lomba, terasa hawa dingin penyejuk ruangan alias air conditioner terasa menusuk hingga ke sumsum tulang, dan hal itu pula yang memaksa semua peserta menggunakan jaket untuk menghambat hawa dingin masuk ke dalam tubuh. Selain itu, keadaan yang tidak biasa itu justru membuatku semakin gugup dan tidak konsentrasi karena aku tidak terbiasa dengan ruangan lombanya. Dan sekali lagi, aku yakin bahwa aku tidak dapat mempertahankan gelar juara satu yang tengah kusandangkan saat itu.

    “Mengapa kamu hanya diam, Jes?” tanya Bu Sumar yang menghampiri kamar hotelku seusai lomba.

    “Aku rasa aku kalah, Bu,” jawabku seperti orang yang baru saja kehilangan, tetapi aku sendiri tidak tahu hal apa yang akan hilang.

    “Sudahlah, ini hanyalah sebuah perlombaan. Pasti ada yang kalah, tidak semuanya menang,” ujar Bu Sumar memotivasiku. Aku hanya membalas dengan senyuman hambar.

    Tak lama setelah senyumku habis dimakan waktu, pikiranku melayang jauh memikirkan berbagai hal yang berkaitan dengan perasaanku yang tak menentu saat itu. di hari keberangkatan, entah apa yang terjadi saat aku mengecek headsetku, aku tidak menemukannya, dan sudah pasti jawabannya adalah tertinggal di Bandara Halim Perdana Kusuma. Selain itu, sebuah kejadian kembali terbayang di benakku, ya kejadian pertama saat aku dan Bu Sumar mengambil sebuah foto saat kami berpijak di tanah Semarang, tepatnya di Bandara Ahmad Yani Semarang. Ya, saat ingin mengambil sebuah foto, tanpa sebab yang jelas Bu Sumarhaeni jatuh tersungkur. Hal itu memang tampak menggelikan, namun bagiku itu adalah sebuah pertanda.

    “Jes!” panggil temanku yang merupakan kontingen dari Bali, berusaha menyadarkanku dari lamunanku. Aku yang terkejut, hanya terperangah heran akan sikapnya padaku. Setelah itu, kulemparkan senyum walau kurang dari sedetik kepadanya.



    6 Juni 2014, waktu yang sangat ditunggu-tunggu oleh semua peserta, ya pengumuman pemenang. Dengan bertempat di Marina Convention Center (MCC), semua peserta dikumpulkan di ruangan yang memacu degup jantung dan perasaan yang tak karuan. Dengan pasrah, aku memandangi satu-persatu peserta yang maju dengan membawa gelar juara, mulai juara ketiga hingga juara pertama. Satu hal yang pasti, hingga pembacaan juara pertama menulis cerpen, namaku tak kunjung disebutkan, dan itulah pertanda bahwa aku telah gugur mengharumkan Provinsi DKI Jakarta di tanah kepemimpinan Pak Ganjar Pranowo, selaku Gubernur Jawa Tengah. Satu hal lagi yang kalian perlu tahu, pemenang FLS2N 2014 dalam bidang menulis cerpen diraih oleh Provinsi Jawa Timur di posisi ketiga, Provinsi Kepulauan Riau di peringkat dua, dan Provinsi Kalimantan Selatan sebagai juara pertama yang akan mengikuti festival seni di India. Selain itu, ditetapkan pula bahwa juara umum FLS2N jatuh ke tangan Provinsi di bawah kepemimpinan Pak Ahmad Heryawan, yakni Provinsi Jawa Barat. Selain itu, Jakarta pun harus bersyukur karena berhasil menyabet juara pertama untuk mata lomba membuat film pendek.

    Semua terasa berlalu dengan cepat, kini aku telah kembali di hotel. Entah apa yang aku rasakan, sesampainya di hotel riak air mata terus mengalir deras dari dua sungai di wajahku. Pikiranku terus melayang jauh mengingat kejadian-kejadian yang menjadi tanda kekalahanku, mulai dari kejadian di Bandara Halim Perdana Kusuma hingga di Bandara Ahmad Yani. Oh iya, selain itu ada dua peristiwa lagi yang memfirasatkan kekalahanku. Yang pertama, saat aku sedang menjalani lomba dan tanpa sebab, air minum yang disediakan di mejaku tumpah tanpa sebab. Hal yang kedua, saat ingin menuju MCC, bis sebagai akomodasi peserta tidak kunjung datang, hingga akhirnya rombongan dari hotelku semuanya datamg telat.

    “Sudahlah, Jes! Aku jadi ingin nangis juga,” kata temanku yang berasal dari Bali. Ya aku pun tahu, bahwa ia mengalami kepahitan yang sama denganku, gagal di langkah terakhir. Aku hanya mampu menatapnya dengan mata yang berkaca-kaca karena tidak lama kemudian Bu Sumar menghampiriku.

    “Jes, apa kamu marah sama Tuhan?” tanya Bu Sumar setibanya ia di sisiku. Aku hanya menggeleng. “Bagus kalau begitu, tandanya kau masih bersyukur. Bersyukurlah, Say selagi kau mampu. Jangan hanya di saat suka kau bersyukur, lakukanlah pula di saat duka menemani kehidupanmu,” lanjut Bu Sumar yang berusaha sekuat mungkin menahan hujan dari matanya. Ia tampak ingin terlihat tegar di depanku. Dan sekali lagi, aku merasakan dekapan penuh kasih dari Bu Sumar yang mendekapku dengan sangat erat.

    Keesokan hari pun tiba, hari terakhir bagiku dan seluruh kontingen di luar kontingen Jawa Tengah untuk berada di Semarang. Setelah melalui waktu seminggu di Semarang, kini tiba saatnya kami kembali ke tanah kontingen kami masing-masing. Begitu pula denganku beserta rombongan kontingen Provinsi DKI Jakarta. Memang berat bagiku untuk meninggalkan Semarang dengan kisah yang pahit, namun mau dikata apa nasi telah menjadi bubur dan keputusan dewan juri pun tidak dapat diganggu gugat.

    Dari semua kejadian ini, aku dapat mengambil banyak pelajaran berharga di dalam hidupku. Yang pertama, mungkin tanpa perlombaan ini aku tidak dapat menemukan talentaku yang sebenarnya dan melalui prestasi yang ku toreh sepanjang perjalanan itu menjadi pembuktian bahwa menulis adalah bakat yang harus aku kembangkan secara terus menerus. Yang kedua, tanpa kerja tangan Tuhan yang terbentuk melalui Bu Sumar, mungkin sampai saat ini aku belum pernah menginjakan kakiku di Semarang, dan yang terakhir melalui semua peristiwa yang ku rangkum ini, aku dapat membuktikan bahwa di atas langit masih ada langit, walaupun secara berturut-turut aku meraih kemenangan, bukan berarti aku harus selalu menang, kan? Oh iya, selain itu pengalaman ini dapat aku jadikan guru dalam kehidupanku dan aku berharap apa yang aku raih selama itu, dapat dirasakan oleh orang-orang lain yang ada di dunia ini.

    “Aku akan selalu merindukan kalian. Semua teman seperjuangan, semua pengalaman, dan semua sejarah panjang hingga aku berada di sini. Selamat tinggal dan sampai jumpa Semarang!” seruku dalam hati yang diiringi take off-nya pesawat yang kutumpangi untuk menghantarkan kepulanganku ke Jakarta.

    Ya, begitulah hidup. Kadang naik, kadang turun. Hidupku telah memberikan banyak pelajaran bahwa dunia sesungguhnya indah dan berwarna-warni, setiap insan berhak mengembangkan talentanya untuk menciptakan pribadi yang unik.

    TAMAT


    Hmm, menurut kalian ceritanya happy ending or sad ending? Atau juga dua-duanya? Sudahlah, apapun dan bagaimana pun akhirnya aku harap kalian bisa mengambil pesan dari cerpen tersebut. Aku harap kalian bisa mengalami hal yang sama seperti Aku, ya. Sampai jumpa di cerpen selanjutnya…!


    (Jesica Dominiq Mozzarella)

    4 komentar:

    1. keren kk :')
      tapi tiwi tadi agak bosen pas baca yg paragraf pertama, kesannya agak menggurui gitu ..
      Salam dari Bali kk :D

      BalasHapus
      Balasan
      1. Aaa.., makasih
        Tiwi punya blog juga, follow blog ku yaa.
        Makasih atas kunjungannya dan makasih juga buat kritikannya.
        Salam dari Jakarta untuk Bali yo..😘😍

        Hapus
    2. Jesica! Aku udah join blog kamu, kamu join blog aku juga ya!
      darakhrns.blogspot.com

      BalasHapus
      Balasan
      1. Okay, makasih...
        maaf baru di balas komennya ya.

        Hapus